Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau)
|
Peringatan Hari Dokter Nasional (HDN) yang jatuh 24 Oktober merupakan awal dari perjuangan panjang dalam rangka mengangkat kualitas dunia kesehatan Indonesia. Sejarah HDN juga tak bisa dilepaskan dari pendirian Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mana sempat berganti nama beberapa kali. Namun satu yang pasti, asosiasi atau perkumpulan ini sudah eksis sebelum kemerdekaan Indonesia.
Napak tilas sejarah, semua bermula dari Vereniging van Indonesische Geneeskundige (VIG) yang sebelumnya bernama Vereniging van Indische Artsen atau Asosiasi Dokter Hindia Belanda -sebutan Indonesia sebelum merdeka. Didirikan tahun 1911 dan mengalami pergantian nama lima belas tahun berselang atau tepatnya pada 1926.
Perubahan nama “indische” ke “indonesische” juga pangkal munculnya kesadaran nasionalis dokter pribumi sekaligus perjuangan pengakuan atas Indonesia. Pergerakan asosiasi dokter pribumi menginisiasi berdirinya pendidikan kesehatan di tanah air. Diantaranya Sekolah Dokter Djawa (1851) atau STOVIA (School Tot Opleiding voor Indische Artsen) atau Sekolah Kedokteran Bumiputera, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) pada 1913 dan sebagainya. Dari sekolah inilah lahir taruna bangsa yang mendirikan “Boedi Oetomo”. Babak baru kebangkitan nasional.
Tujuan pendirian VIG sebagai wadah memperjuangkan kesetaraan dokter pribumi dan dokter Belanda. Lantaran dokter pribumi dianggap kelas dua dimata penjajah Belanda. Acapkali diperlakukan dan diberi hak berbeda dari dokter Belanda. Soal gaji misalnya, dokter pribumi memperoleh 50 persen dari gaji dokter Belanda. Strata jabatan pun tak bisa sejajar dokter Belanda. Tak cukup itu, dokter pribumi juga dibatasi mengakses bacaan medis. Hanya dokter Belanda atau pejabat kesehatan bisa mendapatkan informasi jurnal kedokteran.
Pembatasan tentu menghambat dokter pribumi menambah wawasan. Lambat laun perjuangan membuahkan hasil. Mulai peningkatan gaji dari 50 persen menjadi 70 persen dari gaji dokter Belanda dan boleh diangkat menjadi asisten dokter Belanda. Cerita berubah paska Jepang menduduki Indonesia. VIG dibubarkan dan diganti oleh Jawa Izi Hokokai atau Himpunan Kebaktian Dokter. Jawa Izi Hokokai himpunan yang keanggotaanya meliputi Cina, Arab maupun pribumi. Meski begitu, para dokter pribumi tak berhenti berjuang. Puncaknya paska kemerdekaan terselenggara muktamar yang bertujuan mendirikan perkumpulan dokter Indonesia baru. Muktamar melahirkan IDI yang kemudian tanggal 24 Oktober 1950 resmi mendapat legalitas hukum.
Estafet
Sebagaimana disinggung di awal tulisan, sejarah Hari Dokter Nasional bukan semata peringatan masa lalu. Namun esensi perjuangannya terus berlanjut. Ibarat lari estafet. Karena kita masih jauh dari cita-cita ideal. Untuk itu perlu mengambil pelajaran atau itibar. Sepintas perjuangan dokter pribumi dahulu sebatas kesetaraan. Namun kalau didalami, dibalik itu pada dasarnya terselip urgensi meningkatkan kualitas kesehatan. Kembali ke sejarah, para dokter yang didatangkan dari negeri Belanda hanya mampu menyembuhkan satu diantara ribuan bahkan jutaan orang yang terkena wabah. Waktu itu wilayah kekuasaan Hindia Belanda mengalami masa kelam. Ribuan orang meninggal tanpa peringatan gejala kematian. Wabah menyerang petani, pekerja kebun, tentara hingga pegawai kolonial. Inilah pangkal kolonial membuat lembaga pendidikan kesehatan yang bertugas memerangi wabah penyakit menular.
Seiring bertambahnya pribumi yang terdidik menjadi dokter, wabah dapat tertangani dengan baik. Pemaparan sejarah menunjukan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga kesehatan pribumi tak kalah. Meski begitu kenapa sampai sekarang perkara kualitas kesehatan dalam negeri masih menjadi isu kontemporer? Jawaban sederhananya karena esensi perjuangan gagal dilanjutkan. Diawali SDM kesehatan, kualitas dan kesejahteraan merupakan salah satu faktor kunci. Tanpa SDM tenaga kesehatan yang berkualitas, kesehatan insan bangsa bisa terancam. Menimbang negeri kita dianugerahi potensi bonus demografi atau Indonesia Emas asbab proporsi penduduk berusia produktif lebih besar dibanding nonproduktif, ini sungguh pertanda bahaya. Faktor kesehatan mempengaruhi produktivitas. Sayangnya, upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat khususnya kelompok usia produktif belum optimal.
Memang pemerintah mulai pusat hingga daerah terus berupaya membenahi kualitas kesehatan. Riau turut optimis memperkuat layanan kesehatan dalam negeri terlebih akan dibangunnya Rumah Sakit Pusat spesialis. Proses tersebut semakin dibutuhkan guna menumbuhkan kepercayaan publik yang masih dihantui skeptisme. Pemicunya beragam. Mulai belum meratanya kualitas sarana dan prasarana, layanan dan sistem penyelenggaraan kesehatan yang belum mampu menjawab tuntutan kekinian hingga inkonsistensi di level pengambil kebijakan.
Menyoal disinggung terakhir, upaya memperkuat kepercayaan (trust) terhadap kualitas kesehatan dalam negeri tak cukup modal pidato. Keberpihakan anggaran dan keselarasan antara ucapan dan aksi sangat menentukan. Soal trustrelevan diangkat. Sebagaimana kita ketahui, belakangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menyinggung kebiasaan warga Indonesia berobat ke luar negeri. "Informasi yang saya terima, hampir 2 juta masyarakat kita itu masih pergi berobat ke luar negeri apabila sakit," ujarnya saat mengunjungi RS Mayapada Bandung (6/3/2023).
Presiden menegaskan fenomena tadi tak boleh dibiarkan, sebab potensi devisa sebesar Rp 165 triliun lari ke negara lain. Di lain kesempatan, Presiden Jokowi pernah pula meminta warga tak lagi berobat ke luar negeri. “Kita ingin semuanya sehat, tetapi kalau pas sakit jangan pergi ke luar negeri, ke Tzu Chi Hospital” Ujar Jokowi saat meresmikan RS Tzu Chi di Pantai Indah Kapuk Jakarta (14/6/2023).
Himbauan Presiden patut diapresiasi dan didukung penuh. Sayang di ranah realita bertolakbelakang. Kala Presiden meminta masyarakat berobat di dalam negeri, baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang sakit justru memilih dirawat di RS Singapura. Kan paradoks.
Penulis | : | Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |