Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Hari Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang diperingati setiap 29 November momentum tepat untuk refleksi. Apakah asa di masa lampau sudah terwujud, stagnan atau sebaliknya jauh dari yang dicita-citakan? Pertanyaan diajukan mengingat Korpri punya sejarah panjang yang dapat ditarik ke era penjajahan. Di masa Belanda maupun Jepang, pegawai (terkhusus pribumi) dianggap setara pekerja kasar atau kelas bawah. Hierarki dan kastanisasi terasa di semua sektor. Termasuk terhadap pegawai guru pribumi. Intinya dipandang rendah.
Lalu situasi perlahan berubah. Diawali menuntut perlakuan adil kemudian memunculkan kesadaran berbangsa dan keinginan merdeka. Lepas dari genggaman penjajah nasib pegawai negeri tak langsung membaik. Negara terus berupaya mengakomodir aspirasi. Dalam perjalanannya, Korpri dan pegawai negeri selalu dipenuhi lika-liku. Setelah terbit Keputusan Presiden Nomor 82/1971 di rezim pemerintahan Presiden Soeharto tentang pembentukan Korpri sebagai wadah mengonsolidasi kepentingan pegawai, tak pernah lepas dari “penjajahan” politik. Sejak Orde Lama hingga Orde Baru, Korpri dan pegawai negeri selalu dimanfaatkan demi kepentingan penguasa. Baru paska reformasi hadir aturan yang memisahkan pegawai negeri atau PNS dan dunia politik. Meski realitanya tekanan tak kunjung berakhir.
Profesi pegawai negeri tergolong mulia. Betapa tidak, tugas pokok dan fungsinya mengurusi hajat publik. Di mata Tuhan, membantu urusan orang ganjarannya tak terkira. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa yang melepaskan seseorang dari kesusahan maka Allah pasti melepaskan kesusahan baginya di hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan urusan orang lain, pasti Allah mudahkan hidupnya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim). Tapi sayang stigma birokrasi itu ruwet belum sirna. Keluhan sudah rahasia umum.
Oleh karena itu, mumpung di hari Korpri, tema ini tepat untuk diangkat. Karena pegawai faktor kunci terselenggaranya pelayanan Negara. Tak berlebihan kiranya menyebut mereka penentu nasib bangsa. Atas dasar inilah, di tataran kebijakan Pemerintah menggulirkan reformasi birokrasi. Mulai pembenahan segi pendapatan atau gaji, efektivitas dan efisiensi struktur organisasi, perumusan aturan perekrutan serta penguatan SDM PNS. Terlebih di Undang-Undang No. 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang baru disahkan, sejumlah terobosan ditawarkan. Paling hangat tentu perkara tenaga non-ASN atau honorer. Di UU ASN terbaru, honorer yang masa kerja habis per November 2023 dipastikan tetap akan dipekerjakan, tanpa pengurangan pendapatan dan dapat diangkat menjadi PPPK.
Selain itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB) akan menindaklanjuti pembentukan produk hukum turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) tentang Manajemen Pegawai ASN. PP disebut-sebut akan memangkas ribuan aturan terkait pegawai “plat merah” dan menyederhanakannya jadi satu aturan. Muatannya mencakup kinerja, penilaian dan kesejahteraan ASN serta mengatasi kesenjangan ASN akibat ketidakmerataan dan terkonsentrasi di wilayah tertentu.
Lebih esensial lagi, UU ASN turut mengatur soal kesetaraan hak dan kewajiban antara PNS dan PPPK. Artinya keduanya bakal memperoleh penghargaan dan pengakuan materil dan/atau nonmaterial setara. Diakui atau tidak, ada kecenderungan kastanisasi di organisasi pemerintah. Atensi pemerintah condong ke PNS daripada pekerja honorer, apalagi ke pekerja swasta. Pengistimewaan dan perlakuan berbeda tentu menyebabkan kecemburuan. Sekaligus bentuk pengulangan sejarah ketidakadilan yang dahulu ditentang oleh pegawai pribumi.
Sudah Ideal
Kembali menyinggung kebijakan dan regulasi, di atas kertas sebenarnya konsep reformasi SDM pemerintahan sudah ideal. Namun kenapa hasilnya belum signifikan? Walau reformasi birokrasi sudah digaungkan lebih satu dasawarsa, akan tetapi di tahap implementasi selalu meleset dan tak sesuai harapan. Penempatan posisi lebih mendahulukan nepotisme dan relasi dibanding kompetensi dan kapabilitas. Ironisnya Pemerintah Pusat gagal memberi teladan. Banyak orang tak berkompeten justru diberi jabatan. Jajaran dan kabinet pemerintahan diisi relawan yang tak punya rekam jejak relevan. Contoh buruk dikhawatirkan berkembang dan ditiru di daerah. Akibatnya roda birokrasi lambat, tak kreatif dan tak inovatif.
Jangan heran manakala pembangunan tak berdampak pada kemajuan bangsa dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Menyoal PNS, keadaan semakin kompleks asbab terlalu menikmati zona nyaman. Jaminan karir seumur hidup membuat mereka sulit berkembang. Banyak diantaranya enggan menempa kemampuan dan wawasan. Mentalitas asal beres dan mengutamakan administrasi sudah membudaya di pejabat struktural maupun fungsional. Yang penting output atau angka kredit. Sementara outcome, dampak dan manfaat kegiatan nomor sekian.
Makanya sering ditemukan kebiasaan main aman dan malas mikir. Semisal program dan kegiatan tahun depan copy paste dari program tahun anggaran berjalan atau sebelumnya. Padahal tiap tahun beda prioritas. Kebiasaan dan karakter negatif tadi jelas sebuah kerugian bagi Negara dan bangsa. Tulisan ini tidak bermaksud menyamakan perilaku semua pegawai di lingkungan pemerintah. Kami yakin banyak pegawai yang memiliki keilmuan, wawasan mumpuni, berkompeten, berdedikasi tinggi dan berintegritas. Hanya saja, bak kata pepatah: nila setitik rusak susu sebelanga. Gara-gara segelintir yang tak cakap dan tak pantas menyandang status abdi Negara ujungnya merusak citra keseluruhan. Yang baik akhirnya tercemar.
Mau memberhentikan yang bermasalah pun susah. Sampai-sampai MenPAN-RB Abdullah Azwar Anas mengeluh banyak PNS berkinerja buruk tapi pemerintah sulit memecat mereka karena birokrasi pemberhentian PNS yang rumit. Makin komplit oknum pegawai bermasalah titipan “orang kuat” pula. Mereka inilah yang membawa budaya destruktif dan menciptakan iklim kerja yang tak ramah bagi yang produktif. Memicu frustasi dan munculnya pikiran: percuma rajin dan menempa diri tapi tak diperhatikan atau kalah sama yang punya bekingan bapak, paman dan handai tolan.
Penulis | : | Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |