Dr. (H.C) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM
|
Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 yang dirilis belum lama ini menyiratkan kekhawatiran. Kendati peringkat Indonesia mencatatkan kenaikan seperti literasi membaca dari posisi 74 tahun 2018 menjadi ranking 71 di 2022, literasi matematika dari ranking 73 tahun 2018 menjadi 70 di tahun 2022 dan literasi sains Indonesia ranking 71 tahun 2018 menjadi 67 di tahun 2022, namun di sisi lain skor survei PISA 2022 mengundang sorotan tajam.
Teruntuk bidang literasi membaca Indonesia di tahun 2018 sebesar 371, adapun di tahun 2022 menurun 359. Sedang skor literasi matematika turun menjadi 366 di 2022 dari semula 2018 sebesar 379. Terakhir skor literasi sains dari 379 pada 2018 menurun 366 di tahun 2022. Sekedar informasi, PISA adalah sistem ujian yang diinisasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Survei dilakukan pertiga tahun melibatkan siswa berusia 15 tahun yang dipilih secara acak untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar mencakup membaca, matematika dan sains. Indonesia mulai ikut serta sejak tahun 2000.
PISA tak hanya mempublikasikan benchmark pendidikan Internasional, tapi disertai keunggulan dan kelemahan siswa beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berangkat dari pemaparan, maka hasil survei PISA bernilai penting. Modal berharga bagi pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan (baca: Pemerintah) dalam rangka memajukan sektor pendidikan di tanah air. Sayangnya menyikapi hasil survei PISA 2022, Pemerintah terkesan membela diri. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan bahwa skor PISA 2022 cerminan pendidikan Indonesia di masa pandemi, bukan menampilkan situasi kekinian pendidikan Indonesia. Alasannya survei PISA dilakukan usai pandemi (sekitar bulan Mei-Juni 2022). Oleh karenanya penurunan pembelajaran hampir terjadi di seluruh negara di dunia. Sepintas dalih Kemendikbudristek ada benarnya. Covid-19 mulai tahun 2019 hingga 2022 berdampak ke semua lini. Peniadaan aktivitas sekolah selama 24 bulan menyebabkan learning loss.
Menengok realita survei PISA, penurunan pembelajaran hampir didapati di seluruh negara. Bahkan yang punya sistem pendidikan mumpuni kayak Finlandia literasi membaca turun 30 poin, membuat skornya 490 dari sebelumnya 520. Meski begitu skor mereka tetap di atas rata-rata skor OECD (476). Beda kasus Indonesia. Sejak pertama kali berpartisipasi, makin ke sini skor literasi membaca malah memprihatinkan. Kalau dirunut tahun 2000 skornya 371, 2003: 382, 2006: 393, 2009: 402, 2012: 396, 2015: 397, 2018: 371 dan terakhir 2022: 359. Kesimpulannya, skor PISA 2022 tidak lebih baik. Mengacu ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2024, skor PISA 2022 jelas meleset. Di RPJMN target skor literasi membaca 392, matematika 388 dan skor sains 402. Dalam rancangan teknokratik RPJMN 2025-2029 target PISA Indonesia ditetapkan lebih tinggi lagi: literasi membaca 409 dan matematika 419. Di RPJMN ditegaskan pula bahwa target PISA bukanlah peringkat melainkan skor.
Evaluasi
Penilaian PISA tak bisa dianggap sebelah mata. Sebab hasil survei tidak hanya memastikan siswa dapat mereproduksi pengetahuan, tetapi turut mengukur seberapa baik siswa dapat menginterpretasikan apa yang mereka pelajari serta menerapkan ilmu dan pengetahuan ke lingkungan dalam dan luar sekolah. Pendekatan ini sejalan dengan kebutuhan perekonomian terkini yang lebih menekankan penghargaan ke individu bukan sebatas apa yang diketahui, tetapi apa yang bisa dilakukan berbekal pengetahuan dimiliki. Narasi serupa melandasi konsep pendidikan vokasi.
Kembali ke komentar Kemendikbudristek, pandemi tak cukup sebagai pembelaan. Toh skor Indonesia sudah terlihat kurang menjanjikan sejak sebelum pandemi. Oleh karena itu perlu evaluasi menyeluruh, diatasi secara serius dan berkelanjutan. Mesti ada pendekatan atau kebijakan pendidikan yang tidak tepat. Sejak beberapa periode kurikulum hingga teranyar Kurikulum Merdeka yang digadang-gadangkan dapat mengakselerasi pemulihan pendidikan tak kunjung memenuhi ekspektasi. Penurunan skor literasi membaca alarm sekaligus indikasi nyata krisis pembelajaran di Indonesia berada di fase terparah. Bagaimana mungkin melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) berdaya saing sementara pondasinya yakni siswa literasi membacanya rendah?
Pemerintah mesti berhati-hati dan menghindari narasi seolah kondisi pembelajaran membaik sehubungan kenaikan peringkat PISA dan mengabaikan skor. Ini bisa menjebak dan mengancam cita-cita Indonesia Emas 2045. Menurunnya kompetensi literasi membaca, numerasi dan sains siswa Indonesia sangat berpengaruh ke indeks modal manusia Indonesia atau Human Capital Index (HCI). Bila tidak disiasati, akan mengganggu realisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang menyasar indeks modal manusia Indonesia 73 persen di tahun 2045. Sedangkan HCI Indonesia kini 54 persen (2020).
Bicara kebijakan, terus terang Kami selaku pihak penyelenggara pemerintahan daerah kerap bingung. Anggaran program prioritas pendidikan nasional memang telah dialokasikan ke daerah. Tetapi koordinasi sering tak sinkron. Implementasinya seakan mengandalkan kinerja dan inisiatif daerah. Peliknya tak semua daerah punya kemampuan sama menerjemahkan konsep. Walaupun era Otonomi Daerah menekankan kemandirian, bukan berarti dibiarkan berjalan sendiri tanpa guideline. Pusat ibarat “orang tua”, daerah “anak”. Begitupula Pemerintah Provinsi ke Kabupaten/Kota. Bimbingan dan pengawasan tetap diperlukan guna memastikan agenda nasional berjalan sesuai perencanaan.
Selain koordinasi dan guideline, teladan kepemimpinan pusat juga menentukan. Pendidikan amanah UUD 1945. Maknanya kewajiban Negara, bukan tugas swasta. Prioritas pendidikan harus tampak nyata. Salah satunya keberpihakan anggaran. Ironisnya meskipun masa depan generasi emas terancam, di Pusat belum tampak kesungguhan. Pemerintah jor-joran dan bergerilya mengumpulkan uang untuk belanja pembangunan IKN yang totalnya tembus Rp466 triliun. Sungguh sangat disayangkan. Pos anggaran sedemikian besar dialokasikan ke satu tempat yang dampaknya terbatas. Sementara dunia pendidikan butuh pemerataan. Boro-boro fasilitas laboratorium dan perpustakaan, masih banyak daerah sarana dan prasarana mendasar pendidikan saja dalam kondisi tak layak atau kekurangan ruang belajar.
Berikutnya kebijakan berupa regulasi, sebelas dua belas. Hanya untuk memberhangus satu dua Ormas, Pemerintah Jokowi sampai menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu). Demikian halnya UU Cipta Kerja paska dinyatakan inkonstitusi oleh MK juga dibuat Perppu-nya. Harusnya jika pusat benar-benar peduli masa depan Indonesia Emas 2045, segera terbitkan Perppu berkaitan pembenahan mutu pendidikan nasional. Ini jauh lebih penting.
Penulis | : | Dr. (H.C) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |