Kuasa hukum Yeni Irmayati, Poltak Guntur
|
ROKAN HULU (CAKAPLAH) - Poltak Guntur SH merasa ada kejanggalan terhadap penetapan status tersangka terhadap kliennya Yeni Irmayati oleh Penyidik Polda Riau atas kasus dugaan penggelapan atau pemalsuan Surat Keterangan Ganti Kerugian (SKGR).
Selaku kuasa hukum Yeni Irmayati, Poltak Guntur, mengaku sangat menyayangkan atas penetapan status tersangka terhadap kliennya oleh Polda Riau. Hal itu dikarenakan dirinya menganggap dalam permasalahan jual beli SKGR tersebut kliennya merupakan salah seorang korban bukan pelaku penggelapan seperti yang disangkakan.
"Klien kami ini Yeni Irmayati merupakan korban. Pasalnya yang bersangkutan membeli tanah, kemudian dibalik nama atas namanya sendiri," kata Poltak.
Poltak menerangkan awal permulaan dilaporkannya kliennya Yeni Irmayati atas dugaan penggelapan dan pemalsuan SKGR yang dilaporkan oleh salah seorang pemilik SKGR atas nama H. Damrizal.
Bermula sekitar bulan Oktober 2012 silam, sepasang suami-istri yakni Joko dan Mursih mendatangi rumah kliennya menawarkan SKGR tanah atas nama H. Damrizal yang berlokasi di Kecamatan Ujung Batu, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Yang mana, SKGR itu diakui Joko dan Mursih dalam penguasaan seorang guru perempuan bernama Widia yang sudah dibeli dari pemilik pertama bernama H. Damrizal.
Saat itu, Joko dan Mursih meminta pertolongan kepada kliennya agar SKGR tersebut ditebus. Pasalnya, SKGR yang dalam penguasaan oknum PNS bernama Widia itu dalam kondisi digadaikan kepada rentenir dengan jumlah pinjaman sebesar Rp 6 juta.
Bahkan, terang Poltak, surat SKGR itu sudah digadaikan kepada dua rentenir sekaligus. Pertama digadaikan kepada seorang bernama Wahono dengan pinjaman Rp 6 juta. Setelah berhasil mengambil SKGR itu, kembali digadaikan kepada rentenir dengan total pinjaman mencapai Rp 25 juta. Namun, berdasarkan pengakuan Joko dan Mursih, bahwa Widia tidak sanggup lagi membayar cicilan pinjaman ke rentenir itu. Oleh karena itu, Joko dan Mursih mengaku bahwa Widia meminta agar tanah tersebut dijual.
"Kebetulan Joko dan Mursih ini merupakan orang terdekat klien kami yakni Ibu Yeni Irmayati. Oleh karena itu, klien kami meminta bukti surat jual-beli antara Damrizal dengan Widia. Joko dan Mursih pun meyakinkan klien kami bahwa SKGR itu sudah dibeli oleh Widia, dengan menunjukkan bukti pesan dari Widia, bahwa surat jual belinya berada di Tembilahan," kata Poltak.
Mendengar pengakuan Joko dan Mursih, kliennya pun mulai yakin dan segera melakukan pengecekan keaslian tanah tersebut di Kantor Desa Pematang Tebih Kecamatan Ujung Batu.
"Setelah dicek sesuai nomor register, surat tanah itu asli dan klien kami pun memberikan uang kepada Joko dan Mursih untuk menebus SKGR yang digadaikan ke rentenir itu," ucap Poltak.
Merasa sudah membeli surat tanah tersebut, kliennya pun berupaya membalikkan nama SKGR itu atas nama kliennya sendiri. Lalu, klienya meminta bantuan kepada seorang teman yang juga bernama Yeni untuk mengkonsultasikan ke pihak Desa Pematang Tebih untuk membalikan nama SKGR itu.
"Dalam proses membalikan nama, tidak ada permasalah, pihak Desa pun membuat SKGR tersebut atas nama klien kami Yeni Irmayati, dengan biaya sekitar Rp 2 juta. Dan surat itu pun sudah atas nama klien kami," ungkap Poltak.
Namun, beberapa tahun kemudian, tepatnya sekitar tahun 2015, tanpa sebab, kliennya menerima surat panggilan dari penyidik Polres Rohul, perihal menjadi saksi atas laporan yang dilayangkan oleh Widia.
"Ternyata, Widia membuat laporan ke Polisi atas dugaan pengelapan surat tanah. Dan klien kami jadi saksi. Namun, perkara itu tidak dilanjutkan, pasalnya berdasarkan keterangan penyidik Polres Rohul, bahwa pelapor (Widia) tidak bisa dihubungi lagi," sebut Poltak.
Tidak sampai disitu, pada tahun 2019, Seorang Pengacara berinisial IR mendatangi kliennya di Kantor dimana kliennya bekerja. Pada saat itu, pengacara itu menyampaikan bahwa kliennya telah melakukan penggelapan SKGR.
"Namun, klien kami tidak terlalu menanggapi. Pasalnya, klien kami tidak merasa melakukan dugaan seperti yang dituduhkan. Dalam artian, klien kami membeli secara sah surat SKGR tadi," ungkapnya.
Permasalahan tersebut sempat berlarut, bahkan sempat dimediasi oleh pihak Desa Pematang Tebih sekitar awal Oktober 2019 lalu. Namun mediasi tersebut tidak menemukan titik terang. Pasalnya, Widia tidak hadir pada mediasi itu, dan hanya mengaku bahwa permasalahan itu sudah diserahkan kepada pengacara selaku kuasa hukumnya.
"Namun sayangnya, saat ditanyakan kepada pengacara tersebut, malah bersangkutan menyanggah bahwa dirinya bukanlah kuasa hukum dari Widia. Makanya mediasi tersebut tidak memperoleh kesepakatan," ucap Poltak.
Mediasi berlanjut pada waktu berikutnya, pada mediasi tersebut, pemilik SKGR pertama yakni H. Damrizal meminta agar SKGR tersebut kembali kepadanya, dengan cara dirinya bersama Widia serta Joko dan Mursih mengembalikan uang sebesar Rp 25 juta uang telah dikeluarkan oleh klien kami untuk membeli tanah tersebut. Dan akan dibayarkan pada tenggang waktu 1 bulan kedepan, jelas Poltak.
Namun, ketika pada masa tenggang waktu yang disepakati sebelumnya, pihak-pihak yang tadinya menyepakati akan mengembalikan uang milik kliennya, tak kunjung merealisasikan kesepakatan bersama pada mediasi kedua tersebut.
Kemudian, sebut Poltak, kliennya menghubungi IR untuk mempertanyakan kesepakatan tersebut. Namun, IR hanya menjawab dengan mengatakan Wanprestasi. Dalam artian pihak-pihak ingkar janji. Dan pengacara itu mengaku akan melanjutkan perkara ke penegak hukum.
"Karena klien kami merasa bukan dia yang ingkar janji, ya sudah, klien kami membiarkan saja perkara itu dilanjutkan ke penegak hukum yang mana, Pengacara tersebut kemudian melaporkan perkara itu ke Mapolda Riau," ungkap Poltak.
Pasca dilaporkan ke Polda Riau, tepatnya pada Januari 2020, kliennya sempat beberapa kali memenuhi panggilan Penyidik Polda Riau. Bahkan pada bulan April 2020, perkara tersebut masuk ke tingkat penyidikan.
"Waktu itu, penyidik Polda Riau sempat menyarankan agar perkara ini diselesaikan dengan cara perdamaian antara kedua belah pihak, sebelum masuk ke tingkat penetapan tersangka. Dan kami pun mencoba menjalin komunikasi dengan pelapor, untuk bedamai," ungkap Poltak.
Itikad baik kliennya untuk berdamai bahkan akan mengembalikan surat SKGR tersebut kepada pelapor yakni H. Damrizal tanpa ada pengembalian uang seperti hasil mediasi pertama, diterima.
"Namun, pengacara itu meminta agar kliennya membayar biaya pencabutan laporan di Polda Riau sebesar Rp 100 juta," ujar Poltak.
Bukan hanya itu, kata Poltak, angka perdamaian yang sebelumnya Rp 100 juta berubah beberapa waktu kemudian menjadi Rp 250 juta hanya berselang beberapa hari sejak permintaan uang perdamaian sebesar Rp 100 juta itu.
"Nah mendengar permintaan seperti itu, klien kami tidak menyanggupi. Dalam artian tidak ditemukan kesepakatan bersama, sehingga berujung pada penetapan tersangka kepada klien kami pada 31 Agustus 2020 lalu," ungkap Poltak.
Poltak menambahkan, usai ditetapkan sebagai tersangka terhadap kliennya Yeni Irmayani, dirinya mengajukan surat penangguhan penahanan ke penyidik Polda Riau. Bahkan, saat ini, pihaknya berencana mengajukan surat permohonan agar penyidik Polda Riau mengulang kembali gelar perkara dan penetapan tersangka terhadap kliennya.
"Hal itu kami lakukan karena kami merasa ada kejanggalan dalam perkara ini. Pertama klien kami ini korban, bukan pelaku penggelapan. Kedua, si Widia yang kita anggap sebagai penyebab awal penjualan SKGR ini, tidak diikutkan sebagai terperiksa pada Berita Acara Pemeriksaan. Untuk itu, kami memohon Polda Riau mengkaji lagi penetapan tersangka terhadap klien kami,"pintanya.
Bukan hanya itu, sambung Poltak, pada Sabtu (24/10/2020) lalu, pihaknya juga sudah mengadukan IR ke Dewan Kode Etik Daerah (DKD) Peradi Pekanbaru. Pengaduan tersebut diadukan langsung oleh Yeni Irmayati dan diterima oleh bagian Panitera DKD Peradi Pekanbaru.
"Adapun dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan IR adalah mengenai adanya permintaan uang Rp100 juta kepada Yeni Irmayati untuk pencabutan perkara di Polda Riau," ungkap Poltak.
Poltak juga menerangkan, selaku kuasa hukum, sebelum melaporkan ke DKD Peradi Pekanbaru, dirinya juga sempat menanyakan ke penyidik Polda Riau perihal uang pencabutan perkara sebesar Rp 100 juta tersebut.
"Padahal setelah ditanyakan oleh klien kami, yakni Yeni Irmayati kepada penyidik mengenai permintaan uang Rp 100 juta untuk pencabutan perkara di Polda Riau telah dibantah oleh Penyidik perkara ini yakni Hans Prianggono, SH, bahwa itu tidak benar," ucapnya.
Dengan demikian, tambah Poltak, dirinya menduga IR telah melakukan pembohongan. Pasalnya, tidak etis seorang pengacara meminta uang Rp 100 juta kepada Yeni Irmayati karena bukan kliennya.
Adapun pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan IR selaku Teradu, adalah pasal 6 huruf d dan e UU Advokat No.18 Tahun 2013 dan psl 2 Kode Etik Advokat Indonesia tentang "kepribadian Advokat Indonesia".
Penulis | : | Ari |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Hukum, Kabupaten Rokan Hulu |