PEKANBARU (CAKAPLAH) - Penasehat hukum empat pimpinan perusahaan dan seorang tenaga marketing dari PT Tiara Global Propertindo (TGP) dan PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ia menilai dakwaan JPU tidak memenuhi syarat formil dan materil.
"Sebab perkara ini bukan pidana tapi perdata atau wanprestasi," ujar penasehat hukum keempat terdakwa, Syafardi, SH MH, Selasa (30/11/2021).
Empat pimpinan itu adalah Bhakti Salim alias Bhakti selaku Direktur Utama (Dirut) PT WBN dan PT TGP, Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim selaku Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP dan Christian Salim selaku Direktur PT TGP. Mereka diadili terpisah dengan marketing freelance, Maryati.
Kasus ini awalnya dilaporkan oleh korban ke Mabes Polri yang mengaku mengalami kerugian total Rp84,9 miliar. Korban mengaku ditawarkan investasi dengan bunga 9 persen sampai 12 persen per tahun, dengan cara menjadi pemegang promissory note WBN dan TGP.
Syafardi menjelaskan, sejak awal perkara ini merupakan perkara keperdataan karena terkait perjanjian. Dengan begitu, proses hukumnya pun seharusnya ke sengketa keperdataan dan bukan merupakan perkara pidana.
Ia menegaskan, penerapan pasal penipuan dan penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP dalam perkara ini sangat dipaksakan karena dari awal tidak ada perbuatan tipu muslihat yang dilakukan oleh para terdakwa kepada para pelapor. Hubungan antara para pelapor dengan para terdakwa didasarkan hubungan perjanjian yang dibuat dengan kesadaran penuh oleh kedua belah pihak.
Tuduhan para terdakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan adalah sangat tidak relevan dan terkesan dipaksakan. "Ini juga sejalan dengan putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul ialah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga terdapat pada beberapa putusan lainnya," tuturnya.
Karena itu, kata Syafardi, tindakan jaksa yang mendakwa perkara tersebut ke ranah pidana merupakan kekeliruan besar. Ini dianggap menyebabkan kegamangan dalam hukum. JPU, kata dia, juga dinilai salah dalam menempatkan locus delicti atau lokasi dugaan terjadinya
tindak pidana.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut locus delicti perkara ialah di Jalan Mawar Nomor 55 RT 33 RW 02, Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru. Sementara menurut Syafardi, berdasarkan data administrasi Kota Pekanbaru, RT 33 RW 02, Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan tidak ada. "Locus delicti ialah syarat materil yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan," ucap Syafardi.
"Atas tidak terpenuhinya perumusan locus delicti secara jelas, lengkap dan cermat di dalam surat dakwaan, menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum," sambung Syafardi.
Sebelumnya, JPU dalam dakwaaannya menyebut para terdakwa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia.
Kasus berawal pada 2016. Ketika itu PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak di bidang usaha properti bernaung di bawah Fikasa Group sedang membutuhkan tambahan modal untuk operasional perusahaan.
"Saat itu, terdakwa 2 Agung Salim yang menjabat sebagai Komisaris Utama PT WBN mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal tersebut. Lalu diputuskan untuk menerbitkan promisorry note atas nama perusahaan yang ada dalam Fikasa Group, yaitu PT WBN dan PT TGP. Kemudian, terdakwa Agung Salim menyuruh (terdakwa) Maryani menjadi Marketing Freelance dari PT WBN dan TGP," ungkap JPU.
Selanjutnya, Maryani mendatangi para korban pada Oktober 2016 di Pekanbaru untuk menawarkan investasi dengan bunga 9 persen sampai 12 persen per tahun dengan cara menjadi pemegang promissory note PT WBN dan PT TGP.
Saat menawarkan promossory note. Maryani mengiming-imingi bunga yang sangat tinggi melebihi bunga bank pada umumnya. "Jika bunga bank pada umumnya hanya 5 persen per tahun, tapi Maryani menjanjikan bunga 6 sampai 12 persen per tahun, sehingga tabungan berbentuk promissory note ini lebih menguntungkan," lanjut dia.
Selain tabungan berbentuk deposito promissory note, Fikasa Group menawarkan penempatan dana dalam jangka waktu tertentu dan dijanjikan mendapatkan imbalan bunga serta pokoknya terjamin.
Dengan kepiawaiannya selaku Marketing Frelance Fikasa Group, Maryani dari tahun 2016 sampai 2019, berhasil mendapatkan nasabah dari masyarakat yang berdomisili di Pekanbaru, dan menempatkan dana di PT WBN dan PT TGP dengan menyetorkan dana dengan cara transfer ke rekening PT WBN. Ada 3 nomor rekening, masing-masing ke BCA, CIMB Niaga, serta Bank Mandiri.
JPU menyampaikan, pada beberapa promissory note PT WBN dari para korban, ternyata dana yang ditransfer bukan ke PT WBN namun ke rekening atas nama PT inti Putra Fikasa pada ketiga bank itu. Setelah itu, para nasabah mendapatkan bukti penempatan berupa perjanjian promissory note dan certificate yang berisi nominal penempatan, bunga keuntungan, dan tanggal jatuh tempo.
Dokumen itu ditandatangani terdakwa 1 Bhakti Salim, juga terdakwa 2 Agung Salim, terdakwa 3 Elly Salim, serta terdakwa 4 Christian Salim. Para nasabah juga diminta menandatangani bukti perjanjian itu.
Akibat perbuatan itu, para terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang (UU) RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 378, Pasal 372, Jo Pasal 64 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.***
Penulis | : | CK2 |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Hukum, Kota Pekanbaru |