PEKANBARU (CAKAPLAH) - Direktur PT Duta Swakarya Indah (DSI) Misno menanggapi terkait informasi yang menyebutkan perusahaannya berkonflik dengan petani sawit di Kabupaten Siak, Riau. Ia melihat, ada yang sengaja menggiring opini terkait kasus ini, untuk menutupi kondisi yang sebenarnya di lapangan.
Diceritakan Misno, persoalan bermula ketika perusahaannya bermasalah dengan PT Karya Dayun, terkait sengketa 1.300 hektare lahan perkebunan antara kedua belah pihak pada tahun 2012.
Kasus ini, katanya, diselesaikan lewat jalur hukum di pengadilan. Setelah melalui proses hukum, tahun 2015 kasus ini inkrah dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang amar putusannya menyerahkan kepemilikan lahan kepada PT DSI.
"Kami dimenangkan MA terkait lahan ini. Dalam putusannya, PT DSI juga diminta membayar ganti rugi tanaman sekitar Rp 26 miliar. Uang tersebut sudah kami titipkan di pengadilan. Jadi kasus ini klir dan sudah berkekuatan hukum," jelas Misno, Rabu (19/7/2023).
Ditambahkan Misno, keanehan muncul ketika putusan MA ini akan dieksekusi. Tiba-tiba muncul sertifikat atas nama pribadi di atas lahan itu. Lahan tersebut diklaim milik 23 orang, dengan bukti kepemilikan sertifikat.
"Semuanya memiliki lahan di atas 50 Ha. Anehnya lagi, dari 23 nama pemilik sertifikat terdiri dari satu keluarga. Bahkan ada anak yang baru berusia 13 tahun sebagai pemilik sertifikat, atas nama Wilson Laurent," kata Misno.
Melihat hal ini, kata Misno lagi, PT DSI kemudian mengajukan pembatalan atas sertifikat tersebut. "Permohonan kami," kata Misno direspon Badan Pertanahan Negara (BPN) Siak.
"Melalui rapat kordinasi dengan melibatkan semua unsur terkait, BPN Siak setuju dilakukan pembatalan atas sertifat itu, karena memang banyak kejanggalan dan bukan pada titik koordinat yang disengketakan," papar Misno.
Lanjut dia, dalam perjalanannya, Komisi II DPR RI melalui Kelompok Kerja (Pokja) yang dipimpin Junimart Girsang, keberatan dengan putusan ini, karena dianggap PT DSI sebagai mafia tanah.
"Sehingga, muncul pemberitaan Komisi II DPR RI mendesak pembatalan sertifikat masyarakat tersebut. Kami benar-benar merasa dirugikan. Padahal kami hanya ingin menegakkan putusan pengadilan. Saya khawatir Komisi II tidak mendapatkan informasi yang benar dan rinci atas kasus ini. Apalagi keberatan pemilik sertifikat ditolak pengadilan. Kami tidak ingin muncul anggapan putusan MA sebagai lembaga peradilan di negara ini tidak dihormati. Kemana lagi kita mencari keadilan?," paparnya.
PT DSI, tegas Misno, sepakat untuk memerangi mafia tanah. Dan objek persoalan ini sebenarnya tidak ada kaitan dengan lahan milik petani. Makanya, PT DSI kebingungan dengan opini bahwa PT DSI berkonflik dengan masyarakat.
Selanjutnya, ada gugatan ke PTUN yang mempertanyakan keabsahan izin prinsip SK pelepasan hutan, berdasarkan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 17 tahun 2023.
Untuk sementara, PTUN dalam status memenangkan gugatan, meskipun belum dalam status inkrah. "Salah satu penggugat ini atas nama Dasrin Nasution, yang merupakan Direktur PT Karya Dayun, yang bersangkutan pernah dipidana karena menanam sawit di lahan milik orang lain pada tahun 2016 silam," kata Misno.
Persoalan ini sudah lama terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Siak. Pekan lalu, Komisi II DPRD Riau pun memanggil PT DSI untuk rapat dengar pendapat (RDP) di gedung legislatif Provinsi Riau. Namun, perusahaan itu tidak hadir.
Sekretaris Komisi II DPRD Riau Husaimi Hamidi mengatakan, PT DSI sudah tak menghargai Pemerintah Daerah tempat di mana perusahaan mereka beroperasi selama ini. Ia menambahkan, permasalahan terbesar selama ini perusahaan-perusahaan di Riau adalah, HGU tidak lagi menjadi persyaratan utama perusahaan membuat kebun.
Jadi, izin operasional dan izin perkebunan keluar, HGU masih dalam pengurusan. Tapi, perusahaan sudah bisa merawat, menanam dan memanen kelapa sawit.
"Bahkan ada perusahaan yang sudah 10 tahun beroperasi tapi ketika ditanya HGU nya, ternyata masih dalam pengurusan," kata Husaimi, Selasa (18/7/2023).
Akibantnya, HGU tak sesuai dengan kondisi di lapangan. Artinya, luas yang ditanam secara ril dan di dalam HGU sudah berbeda.
"Harusnya secara logika kita, HGU itu persyaratan wajib membuka kebun untuk mengetahui titik koordinatnya. Kalau seperti ini kasihan masyarakat, mereka hanya mencari makan kok," kata Husaimi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II Zulfi Mursal saat pertemuan dengan masyarakat petani pekan lalu mengatakan, Komisi II meminta Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Siak untuk menghentikan kegiatan PT DSI yang berada di lahan kebun sawit milik masyarakat.
Diketahui, lahan-lahan masyarakat yang terdampak itu berada di wilayah Kecamatan Koto Gasib, Kecamatan Dayun, dan Kecamatan Mempura Kabupaten Siak.
"Dalam waktu dekat Komisi II DPRD Riau juga akan turun langsung ke Kabupaten Siak untuk meninjau langsung lahan kebun sawit yang bersengketa antara PT DSI," kata Zulfi Mursal.
Penulis | : | Delvi Adri |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Kabupaten Siak, Hukum, Ekonomi |