Menkumham Yasonna Laoly.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Rencana Yasonna Laoly hendak merevisi PP 99/2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan Hak Binaan Warga Pemasyarakatan di tengah situasi pandemi virus Corona, dinilai Koalisi di Riau menambah kebijakan yang tidak adil bagi masyarakat.
Koalisi yang terdiri dari LBH Pekanbaru, Fitra Riau, Senara, Jikalahari dan Walhi Riau ini menilai, revisi itu akan memberikan keistimewaan pada 300 napi korupsi yang akan menerima pembebasan lebih awal.
Alasan Yasonna, lembaga pemasyarakatan kelebihan kapasitas sebenarnya tidak menyangkut napi korupsi yang selama ini hidup dalam sel tahanan sendiri dan mewah. Yasonna menargetkan, jika usulan revisi itu diterima pemerintah, akan ada 30.000-35.000 napi yang dibebaskan melalui asimilasi dan integrasi dengan empat syarat.
Pertama, napi narkotika yang dihukum 5 sampai 10 tahun dan telah menjalani dua per tiga masa tahanan akan diberi asimilasi di rumah. Kedua, napi korupsi berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani dua per tiga masa tahanan. Ketiga, napi tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan telah menjalani dua per tiga masa tahanan. Terakhir, narapidana warga negara asing 53 orang.
Salah seorang penggagas koalisi, Taufik dari Fitra Riau mengatakan, ada 5 tuntutan koalisi yang yang dikeluarkan koalisi ke pemerintah pusat. Yang pertama adalah, Presiden Joko Widodo harus menolak usulan Yasonna revisi PP 99/2012 dan segera memecatnya.
"Pemerintah harus memperioritaskan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH- 19.PK.01.04.04 tahun 2020 kepada narapidana anak dan narkotika yang hidup dalam kelebihan kapasitas penjara," kata Taufik.
Selanjutnya, KPK, Kejaksaan dan Kepolisian usut tuntas permasalahan korupsi yang ada di Riau.
"Selanjutnya, Pemerintah harus fokus menangani penyebaran Covid-19. Dan terakhir, memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada tenaga medis yang berjuang menangani pasien Covid-19," kata Taufik.
Taufik mengatakan, mengutip keterangan Indonesia Corruption Watch (ICW) setidaknya ada 22 napi korupsi yang akan bebas. Diantaranyanya, Setya Novanto; pengacara senior Oce Kaligis (77); eks Menteri Agama, Suryadharma Ali (63); eks Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar (61); eks Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari (70) dan eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik (70).
Kemudian pengacara Fredrich Yunadi (70); eks Hakim Ad Hoc Tipikor, Ramlan Comel (69); eks Wali Kota Bandung, Dada Rosada (72); eks Gubernur Riau, Rusli Zainal (62); eks Gubernur Papua, Barnabas Suebu (73); eks Wali Kota Madiun, Bambang Irianto (69); eks Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnaen (63); eks Wali Kota Mojokerto, Masud Yunus (68); eks Bupati Subang, Imas Aryumningsih (68); eks Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud (60) dan eks Wali Kota Pasuruan, Setiyono (64).
Selanjutnya mantan Anggota DPR RI, Budi Supriyanto (60); Amin Santono (70) dan Dewie Yasin Limpo (60). Berikutnya Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro (60) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd, Johannes Budisutrisno Kotjo (69).
Awalnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengeluarkan Keputusan Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 tahun 2020, tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Syaratnya, pertama, narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh pada 31 Desember 2020. Kedua, anak yang 1/3 masa pidananya jatuh pada 31 Desember 2020. Ketiga, narapidana dan anak yang tidak terkait dengan PP 99/2012. Keempat, tidak sedang menjalani subsidiary dan bukan Warga Negara Asing (WNA).
Tercatat, per 1 April 2020, sudah 5.556 warga binaan telah dibebaskan. Karena kebijakan itu tidak memenuhi syarat untuk koruptor yang telah dihukum, Yasonna mencari cara dengan merevisi PP 99/2012 Pasal 34C Ayat (2). Dia juga berdalih, untuk mencegah penyebaran virus corona di dalam lembaga pemasyarakatan.
Taufik menjelaskan, ketakutan itu sebenarnya tidak menyentuh para koruptor tersebut. Semua orang tahu, bahwa mereka hidup mewah dan memiliki fasilitas pribadi di dalam sel. Beberapa kali terbongkar, para koruptor itu memilik tempat tidur mewah, ruang olahraga sendiri, tempat karaoke dan mandi dengan air panas.
"Solusi lain sebenarnya bisa dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia lewat Kepala Lapas dan Rutan bisa buat kebijakan, meniadakan kunjungan keluarga warga binaan dan pengiriman barang selama masa pandemi Covid-19 ini. Membaca daftar koruptor yang disebutkan ICW, juga menambah luka bagi warga Riau yang saat ini juga dilanda Virus Corona. Padahal, Riau belum terbebas dari zona merah korupsi dan banyak masih kasus korupsi yang belum ditindak," cakapnya.
"Korupsi di Riau menyumbang laju deforestasi, Karhutla dan pembangunan yang tak kunjung selesai. Tren zona merah jangan ditambah lagi dengan buruknya penegakan hukum. Jika pembebasan napi korupsi di Riau juga dilakukan, maka sama saja mengkhianati masyarakat Riau karena, korupsi di Riau menyebabkan masyarakat menderita. Selain karena Karhutla tadi, korupsi juga menambah angka kemiskinan. Bahkan, kemiskinan itu terjadi pada daerah yang kaya sumberdaya alam namun pemimpinnya korup," tukasnya.