H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Hari Persahabatan Sedunia atau Hari Persahabatan Internasional (HPI) yang diperingati setiap tanggal 30 Juli sangat relevan untuk diangkat. Sekilas tentang HPI merupakan inisiatif proposal UNESCO. Mengutip dari situs PBB, HPI bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara faktor primordial. Persahabatan antara masyarakat, negara, agama, budaya dan individu diyakini dapat menginspirasi upaya perdamaian dan membangun jembatan.
Dalam rangka memperingati HPI, PBB mendorong Pemerintah, organisasi dan kelompok masyarakat sipil untuk mengadakan acara, kegiatan yang berkontribusi kepada upaya mempromosikan dialog antar peradaban, toleransi, solidaritas, saling pengertian dan rekonsiliasi. Capaian tadi sangat penting. Apalagi di tengah banyaknya tantangan, krisis dan perpecahan akibat kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan hal lain yang merongrong perdamaian, keamanan, pembangunan dan keharmonisan sosial.
Untuk menghadapi krisis dan tantangan tadi, akar penyebabnya harus diatasi dengan mempromosikan dan membela semangat solidaritas kemanusiaan yang memiliki banyak bentuk. Di antaranya paling sederhana berbentuk persahabatan. Melalui jalinan persahabatan akan dapat mengembangkan ikatan dan rasa saling percaya. Ini perubahan mendasar untuk mencapai stabilitas dan kondusifitas. Dampak positifnya terwujud komunitas, berbangsa dan bernegara lebih baik.
Tujuan HPI sangat ideal. Akan tetapi belum selaras penerapannya. Khususnya terkait toleransi dan dialog. Dalam praktiknya cenderung disalahgunakan dan condong ke kepentingan satu pihak dan menegasikan kelompok lain. Dalam konteks global misalnya, PBB menghendaki persahabatan demi meredam konflik. Namun saat Amerika Serikat dan sekutu serta penjajah Israel melakukan kejahatan perang dan pembantaian tidak diberi sanksi sebagaimana kerasnya sikap PBB ke Rusia yang menyerang Ukraina. Begitu pula ke kelompok LGBT. Diberi ruang dan perlakuan istimewa memaksakan propaganda paham menyimpang. Bahkan rentang 2014-2017, lembaga PBB UNDP mengucurkan dana sebesar Rp108 M untuk mendukung aktivitas kampanye LGBT di beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Sampai sekarang boleh jadi terus bertambah.
Anehnya, masyarakat atau suatu negara menolak LGBT sebab bertentangan dengan nilai-nilai dianut malah dipojokkan dan disebut tidak toleran. Upaya memaksakan satu pandangan tentu bukan toleransi. Ketika satu pihak diberi ruang lalu pihak lain ditekan dan dibungkam, ujungnya melahirkan perpecahan dan mempertajam konflik. Paling ditakutkan, persepsi orang terhadap toleransi perlahan akan berubah. Toleransi dianggap sekedar alat pemaksaan kehendak.
Bukan Kolaborasi
Mengacu ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian toleransi yakni sifat menenggang terhadap pendapat, kepercayaan yang berbeda. Selagi perbedaan dimaksud tidak bertentangan dengan nilai dan falsafah dianut bangsa dan peraturan perundang-undangan. Toleransi dalam konteks agama dan kepercayaan bukan berarti pemeluk agama satu ikut-ikutan ritual agama dan kepercayaan lain. Bukan pula mencampuradukkan simbol, praktik dan unsur agama berbeda.
Fenomena ini sering ditemui belakangan. Paling hangat video viral peresmian sebuah gereja di Sumatera Selatan yang bikin heboh. Pasalnya, gereja yang ikut diresmikan Kepala Daerah itu diiringi musik marawis milik salah satu Ormas keagamaan. Dalam video tampak beberapa pria dan wanita Muslimah berpakaian putih sedang berada di atas panggung memainkan alat musik jenis rebana. Terdengar juga suara lantunan musik marawis. Peristiwa tadi dibenarkan sejumlah pejabat yang hadir. Kapolres setempat berkata bahwa tujuannya murni untuk meningkat kerukunan (toleransi) antar umat beragama sebagai bagian menjaga kerukunan persatuan NKRI.
Sepintas kata barusan indah didengar. Tapi bila dikaji mengandung penyesatan. Jika toleransi seperti itu dimaksud sama saja meniadakan perbedaan dan keunikan yang dimiliki masing-masing agama. Justru perbedaan simbol dan unsur itu sejatinya kekayaan NKRI. Negara luar takjub melihat Indonesia disebabkan keragaman agama, budaya dan suku namun tetap bisa hidup berdampingan dan harmonis sejak dahulu kala.
Paradigma sesat berbungkus toleransi dan dialog perlu dibenahi. Supaya Indonesia tidak kehilangan keunikan dan identitas. Kami berkeyakinan, di masyarakat kata toleransi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Tanpa tahu artinya, masyarakat sudah sejak zaman baheula mempraktikkan. Riak-riak dan konflik dalam hidup pasti selalu ada, tapi kebanyakan ditengahi melalui musyawarah. Boleh dibilang toleransi warisan nilai turun-temurun. Jadi tak perlu diajari.
Konflik membesar ketika orang luar yang tak tahu kronologi ikut berkomentar dan mengagitasi. Apalagi yang koar-koar ceramah soal toleransi belum terbukti apa kehidupan sosialnya dengan masyarakat setempat berhasil? Kendati materi toleransi dan dialog guna memupuk persahabatan tetap perlu disegarkan, harus tetap di relnya. Jangan kebablasan.
Mirisnya kesesatan paradigma bermula dari elite dan pembuat kebijakan. Contoh upaya mewujudkan toleransi dalam kamus Pemerintah lewat program Moderasi Beragama. Dalam buku Kementerian Agama dijelaskan bahwa Moderasi Beragama yaitu sikap beragama seimbang antara pengalaman agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Konsepnya betul namun pelaksanaan salah tafsir. Maunya menerapkan moderasi (wasathiyah) malah mencampuradukkan atau kolaborasi praktik dan ritual agama. Cara ini juga bisa merusak kesatuan dan buat ricuh.
Selain penerapan toleransi tak sesuai, tak jarang pernyataan dan kebijakan memperkeruh suasana dan menimbulkan gesekan. Seperti waktu lalu Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas membuat kontroversi yang membandingkan pengeras suara (speaker) Masjid dan Musala dengan gonggongan anjing. Dia meminta pengeras suara harus diatur agar tidak mengganggu kehidupan umat beragama non muslim.
Akibat statement itu, banjir kritikan dan hujatan dari warga. Tagar #Tangkapyakut pun trending di sosial media. Cara Menag mengibaratkan sangat tidak tepat. Di samping itu, sikap Menag seolah menganggap semua pengeras suara Masjid dan Musala memicu konflik. Padahal pengeras suara dipakai sudah lama. Pemakaian bukan semata untuk syiar keagamaan. Pemberitahuan warga meninggal, acara sosial semisal kerja bakti hingga kegiatan kesehatan kayak Posyandu juga memakai speaker Masjid dan Musala.
Selain itu, sikap Menag yang keras menindak toa Masjid berbanding terbalik tatkala menghadapi kesesatan Ponpes al Zaytun. FPI dibubarkan atas alasan merongrong NKRI, tapi al Zaytun yang identik NII dikasih toleransi. Dari ini jelas problem terbesar bangsa bukan intoleran. Tetapi sikap bermuka dua yang sangat berbahaya dan mengancam keutuhan NKRI.
Terakhir, di peringatan HPI momentum tepat menegaskan pentingnya persahabatan. Perbedaan bukan penghalang sesama kita untuk saling bekerja sama menggapai tujuan baik. Persahabatan seumpama menenun dan merajut kain bermotif. Menyatukan benang berbeda warna menjadi sebuah kain yang indah dilihat dan dapat bernilai mahal.
Persahabatan juga bak jaring pengaman yang akan melindungi kita dan membangkitkan semangat untuk berbagi perhatian dan saling peduli dengan orang terdekat dan lingkungan sekitar. Dalam penerapannya, persahabatan menghendaki toleransi. Caranya bagaimana memilih cara pandang, sikap dan perilaku di posisi tengah-tengah dan bertindak adil. Meski begitu, toleransi dan moderasi bukan berarti kebablasan. Selagi bukan penyimpangan dan perbedaan itu berasal dari Tuhan maka itu rahmat. Siapa yang menafikan perbedaan maka sudah kufur atas nikmat Tuhan.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku agar kamu saling mengenal” (QS. Al Hujurat ayat 13).
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |