H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Tanggal 9 Agustus 2023 kita memperingati Hari Jadi Provinsi Riau ke 66. Muncul pertanyaan. Di usia lebih setengah abad, sudahkah majukah Riau? Memang, sejak penerapan otonomi daerah bergulir, dari segi fisik berubah drastis. Di atas kertas juga terlihat progres signifikan. Semisal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun lalu tercatat meningkat, dan selalu dibanggakan Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar di berbagai kesempatan. Capaian tadi patut diapresiasi. Kendati, ada hal cukup mengganggu. Mengutip BPS, IPM Provinsi Riau sempat turun dua tahun belakangan. Di tahun 2019 di atas rata-rata nasional yakni 73.00. Lalu turun di tahun 2020 72.71 dan tahun 2021 72.94. Baru di tahun 2022 kembali meningkat 73.52.
Penurunan dua tahun sebelumnya perlu dikaji. Sebab berdampak atau mengganggu indikator pencapaian program secara keseluruhan. Selain itu, paling urgen disinggung terkait Indeks Daya Saing Daerah (IDSD). Riau mesti berupaya keras mengejar ketertinggalan. Kendati IDSD Riau melonjak dari sebelumnya 2,98 menjadi 3,16 di tahun 2022, tapi masih dibawah rata-rata nasional (3,26). Dibanding provinsi tetangga pun situasinya tak jauh beda. Ambil contoh provinsi Sumatera Utara 3,24 dan Sumatera Barat 3,41.
Belum menjanjikannya daya saing Riau pantas mendapat atensi. Sekaligus pekerjaan rumah. Terutama bagi kepemimpinan daerah sekarang, sebagaimana dijabarkan dalam Rencana Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau 2019-2024, salah satu misi yang hendak diwujudkan adalah berdaya saing global. Bagaimana mau berdaya saing global kalau indeks dibawah rata-rata nasional? Di luar bicara angka dan statistik, masyarakat Riau berekspektasi tinggi terhadap provinsi yang dicintainya. Apalagi stigma Riau provinsi kaya Sumber Daya Alam (SDA). Ini melambungkan Riau bak negeri utopia. Idealnya bermodalkan anugerah alam, Riau lebih baik dibanding provinsi lain. Kurang sempurna apa coba. Atas minyak, bawah minyak. Bahkan baru-baru ini ditemukan minyak di bawah minyak.
Orang luar beranggapan Riau luar biasa mentereng dan warganya kaya-kaya. Sampai-sampai muncul candaan, kalau kendaraan plat BM jalan ke daerah lain bakal diincar “oknum”. Ternyata realita berkata sebaliknya. Kekayaan alam belum bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat Riau. Kekayaan alam diperas, ironisnya harga BBM Riau pernah lebih mahal ketimbang provinsi lain yang bukan penghasil Migas. Minyak goreng pernah langka dan mahal, padahal sentra kebun sawit. Perusahaan besar dimana-mana, tapi duitnya lebih banyak lari ke luar daerah. Kondisi jalan banyak rusak, yang lagi-lagi memicu selorohan: masuk wilayah Riau tak butuh gapura, tandai saja kendaraan bergoncang hebat berarti anda sudah di Riau.
Sejarah
Harapan membuncah dibalik penetapan tema HUT Riau ke 66 yaitu Riau Bersatu. Tema yang punya semangat dan tujuan bagus. Tema ini mengandung nilai filosofis bila dirunut jauh ke belakang. Riau hanya bisa memperoleh kemajuan ketika tak lupa akarnya. Sejarah masa lalu adalah bekal berharga. Selain kaya SDA, Riau kaya akan sejarah. Diawali kejayaan kerajaan besar Melayu masa lampau dengan aliran sungai tumpuan kekuatan.
Menyoal peninggalan kerajaan, saking banyaknya, ada kajian menyebut kerajaan di Riau jumlahnya mencapai 29 kerajaan! Sayangnya tinggal kenangan. Ceritanya dibanggakan lewat pidato dan khazanahnya dimusiumkan. Bukan diulang kembali kejayaannya. Kekeliruan berpikir inilah yang membuat kemajuan Riau terasa lambat. Seakan tiada mimpi besar mau dikejar. Padahal pendahulu berhasil mengangkat Melayu termahsyur dan mendunia berawal dari mimpi dan cita. Masa itu kerajaan Melayu Riau kekuatan besar di Selat Malaka. Mempengaruhi politik, perekonomian dan budaya. Bukti pengaruh besar bidang budaya dijadikannya bahasa Melayu dasar bahasa Indonesia. Meski kerajaan berdiri di Riau kerap berselisih dan saling menaklukkan, semua dalam konteks persaingan dan memperluas kekuasaan. Namun konsekuensi perang (trauma rakyat, korban jiwa serta kerugian materil) perlahan menyadarkan mereka. Perseteruan kerajaan besar seperti Kerajaan Siak dan Kerajaan Pelalawan akhirnya berbuah perdamaian dan persaudaraan. Raja yang dikalahkan kembali menjadi orang besar Kerajaan, diberi gelar dan dijamin keselamatannya.
Dari penggalan sejarah tersaji bahwa competitiveness dan kegigihan menjadi yang terbaik merupakan penentu kejayaan masa lalu Riau. Bahkan memasuki masa kemerdekaan, raja-raja Melayu yang tersisa masih tertanam kerinduan besar mewujudkan kemajuan Melayu. Semisal ambisi menyatukan daerah Selat Melaka dengan Siak di belahan Sumatera. Terakhir saat Raja Haji Fisabilillah coba menyatukan Kepulauan Riau dengan Indragiri. Fanatisme dan kebanggaan atas negeri memunculkan pepatah “patah tumbuh hilang berganti, tak kan Melayu hilang di bumi".
Tekad tadi mesti dilestarikan. Tanpa keinginan besar, Riau tak akan pernah kembali ke puncaknya. Terlebih di tengah persaingan global, competitiveness dibutuhkan. Penyelenggara daerah/Pemda dituntut berkompetisi. Meski begitu persaingan bukan untuk melemahkan, justru menguatkan. Berdasarkan RPJMD, terdapat sejumlah sektor unggul Riau menurut nilai SLQ (Static Location Quotient). Antara lain: pertambangan dan penggalian, pertanian dan perkebunan serta industri pengolahan. Disamping itu didapati sektor lain: perdagangan/jasa, sektor keuangan dan asuransi. Mengacu ke data, tak satupun kabupaten/kota punya semua potensi dan prospek dimaksud secara bersamaan. Satu sisi unggul tapi tidak di sisi lain. Oleh karena itu, competitiveness advantage yang dimiliki setiap kabupaten/kota merupakan modal memajukan Riau di lingkup nasional dan global.
Kembali ke sejarah, kerajaan Melayu di bumi Riau dapat bersatu demi tujuan yang sama. Sikap ini terus berlanjut di masa kemerdekaan. Paska proklamasi, Riau tak begitu saja berdiri. Perjuangan pembentukan Provinsi Riau memakan waktu 6 tahun (1952-1958). Sebelumnya Riau digabung bersama Sumatera Barat dan Jambi Provinsi (Sumatera Tengah) dengan ibukota di Sumatera Barat.
Cikal bakal berdirinya Provinsi Riau tak lepas dari tonggak sejarah usai diselenggarakannya Kongres Pemuda 17 Oktober 1954. Kongres digelar di Pekanbaru buah persatuan elemen Riau. Menghasilkan kesepakatan dan tekad untuk berdikari. Berbekal hasil kongres, utusan Riau datang menghadap Menteri Dalam Negeri menyampaikan aspirasi membentuk Provinsi Riau. Akhirnya, tertanggal 9 Agustus 1957, Presiden Soekarno menandatangani UU Darurat No: 19 Tahun 1957 di Denpasar, Bali yang kemudian diterbitkan UU Nomor 61 Tahun 1958. Kini UU Nomor 19 Tahun 2022 tentang Provinsi Riau telah ditetapkan.
Ini pijakan penting yang telah disesuaikan perkembangan terkini. Tinggal sekarang bagaimana reorientasi langkah mengulang kejayaan Riau. Kuncinya pengelolaan keunggulan tiap kabupaten/kota agar dapat saling melengkapi. Inilah esensi Riau Bersatu. Bukan saling membusungkan dada dan menempuh jalan sendiri-sendiri.
Kemajuan Riau hanya dapat dicapai ketika saling menguatkan dalam mengakselerasi pembangunan dan kepedulian meminimalisir kesenjangan. Sektor kepemimpinan daerah/provinsi memainkan peranan vital. Memberi perhatian secara adil dan proporsional ke kabupaten/kota, serta dapat mengonsolidasikan dan menyatukan keunggulan, termasuk menggalang dalam rangka memperjuangkan kepentingan Riau ke pusat secara bersama-sama.
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |