
![]() |
(CAKAPLAH) - Baru-baru ini Mahkamah Agung mengeluarkan aturan yang SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Aturan ini dikeluarkan dikarenakan maraknya beberapa hakim yang mengadili perkara perkawinan kerap mengabulkan permohonan perkawinan beda agama.
Menyikapi hal tersebut, tentu haruslah dipahami terlebih dahulu, jika dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa Perkawinan yang sah itu adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Pasal ini menunjukkan jika setiap insan pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan, menuntut agar setiap pasangan tersebut haruslah mencari pasangan yang memiliki keyakinan dan kepercayaan yang sama, kendatipun di era modern ini banyak ditemukan beberapa pasangan yang melangsungkan pernikahan memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda.
Namun dalam praktiknya beberapa pasangan yang memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda itu telah sepakat akan pindah keyakinan agar mereka dapat melangsungkan pernikahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Seperti contoh di kalangan artis, terdapat beberapa nama yang rela pindah keyakinan demi dapat melangsungkan pernikahan terhadap pasangannya seperti Asmirandah, Marsha Timoty, Nafa Urbach, Chelsea Olivia dll.
Perlu diketahui perkawinan beda agama menurut hukum memiliki dampak negatif yang tentu merugikan pasangan masing-masing terkhususnya Wanita.
Perkawinan Beda Agama Tidak Diakui Negara
Selain dilaksanakan menurut Agama dan Kepercayaannnya masing-masing, poin kedua yang merupakan syarat sah Perkawinan adalah haruslah dilakukan pencatatan Perkawinan (Pasal 2 ayat (2) UU NO 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam maka pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi yang beragama selain Islam (Katholik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, Penghayat dan lain-lain), maka pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (Disdukcapil). Tujuan dari pencatatan perkawinan ini adalah memberikan kepastian hukum tentang status kedudukan isteri dan anak-anaknya kelak.
Syarat untuk mendapatkan pelayanan pencatatan perkawinan baik itu di KUA dan Disdukcapil adalah wajib melampirkan beberapa syarat salah satunya adalah Surat Bukti Perkawinan Menurut Agama.
Dalam praktiknya, perkawinan beda agama memang mendapatkan surat bukti perkawinan. Namun biasanya isi dari surat perkawinan tersebut tetap mencantumkan identitas para pihak dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Maka, jika surat tersebut akan didaftarkan ke kantor pencatatan perkawinan secara otomatis pasangan tersebut, tidak akan mendapatkan pelayanan pencatatan perkawinan.
Argumentasi hukum mengenai Pencatatan Perkawinan memang hingga saat ini menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa Pencatatan Perkawinan bukan syarat sah dari Perkawinan karena bersifat administatif dan ada juga yang mengatakan bahwa Pencatatan Perkawinan itu merupakan syarat sah perkawinan karena UU telah mengaturnya. Namun dalam tulisan ini saya berpendapat jika, sepanjang apapun perdebatan itu UU telah mengatur jika perkawinan harus dilakukan Pencatatan. Sebagai warga negara hukum yang baik sejatinya kita harus menghormati hukum yang berlaku. Jika UU telah menyatakan bahwa Perkawinan haruslah dilakukan pencatatan maka kita harus menghormati dan menurutinya.
Perkawinan Beda Agama Diaanggap merupakan Perkawinan di Luar Nikah
Merujuk dari hal diatas, jika perkawinan beda agama secara administrasi negara tidak tercatat maka sudah pasti perkawinan tersebut akan dianggap sebagai perkawinan di luar nikah. Konsekuensi tersebut tentu akan merugikan pihak perempuan (Isteri) dan anak-anaknya kelak.
Perkawinan yang tidak tercatat tidak memberikan kepastian hukum. Status isteri dan anak-anak menurut hukum dianggap tidak sah dan tentu dalam hal pembagian harta bersama. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta bersama atau harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum Negara perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Maka, jika perkawinan banyak mendapatkan hal negatif harusnya untuk para pasangan yang saat ini ingin melangsungkan perkawinan atau sedang mencari pasangan harus berpikir-pikir terlebih dahulu, terkhususnya untuk para wanita.***
Penulis | : | Tatang Suprayoga SH MH; Dosen Fakultas Hukum Unilak |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Hukum, Cakap Rakyat |










































01
02
03
04
05




