Muji Basuki
|
Pada akhir bulan Juni 2023 ini umat Islam di dunia akan merayakan Hari Raya Idul Adha 1444 H, tidak terkecuali di Indonesia. Memang di Indonesia akan ada 2 kelompok besar umat Islam dalam perayaan hari raya ini, yaitu kelompok yang berhari raya Idul Adha pada tanggal 28 Juni 2023, dan kelompok umat Islam yang berhari raya Idul Adha pada tanggal 29 Juni 2023. Terlepas dari perbedaan tersebut, seluruh umat Islam akan bersuka cita menyambut kedatangan Hari Raya Idul Adha tahun ini, salah satunya karena di dalam Hari Raya Idul Adha ada ritual penyembelihan hewan kurban yang menjadi simbolisasi dari pengorbanan seorang hamba kepada Tuhannya.
Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi muslim yang besar. Menurut situs www.kemenag.go.id, pada tahun 2022 jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai 87,40 persen dari total populasi. Dengan jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa menurut hasil Sensus Penduduk 2020, maka diperkirakan ada sekitar 236 jutaan penduduk Indonesia yang beragama Islam. Jumlah sebesar ini menjadikan Indonesia menjadi negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.
Kembali kepada pembahasan ritual Kurban di Hari Raya Idul Adha, dengan jumlah penduduk muslim sebesar itu, maka kebutuhan bangsa Indonesia terhadap hewan kurban sangatlah besar, khususnya jenis sapi, kerbau, kambing dan domba yang menjadi hewan kurban paling lazim dan populer di Indonesia.
Memang sampai saat ini, belum ada data yang valid dan meyakinkan terkait jumlah kebutuhan hewan kurban setiap tahunnya di Indonesia. Tapi menurut Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Askar Muhammad, diperkirakan potensi ekonomi kurban nasional pada tahun 2020 mencapai Rp 20,5 triliun, yang berasal dari 2,3 juta orang per kurban (Shahibul Qurban) di seluruh Indonesia.
Data tersebut bersumber dari perkiraan 62,4 juta keluarga muslim, dimana 9 persen di antaranya adalah kelas menengah-atas dengan pengeluaran per kapita di atas Rp 2,5 juta per bulan, didapat angka 5,6 juta keluarga muslim yang eligible berkurban. "Dari 5,6 juta keluarga Muslim sejahtera ini, kami perkirakan 40 persen di antaranya melakukan ibadah kurban, dengan asumsi satu keluarga berkurban satu hewan kurban," katanya pada sebuah diskusi yang dilakukan secara zoom pada tahun 2020 yang lalu.
Adapun kebutuhan hewan kurban terbesar adalah kambing dan domba sekitar 1,9 juta ekor, sedangkan sapi dan kerbau sekitar 452 ribu ekor. Dengan asumsi margin perdagangan dan pengangkutan hewan ternak adalah 20 persen serta tingkat harga rata-rata kambing/domba di tingkat produsen Rp 1,9 juta per ekor dan sapi/kerbau Rp 15,0 juta per ekor, IDEAS memperkirakan nilai ekonomi dari kurban 2020 sekitar Rp 20,5 triliun.
"Dengan asumsi berat kambing-domba antara 20-80 kg dengan berat karkas 42,5 persen serta berat sapi-kerbau antara 250-750 kg dengan berat karkas 50 persen, maka potensi ekonomi kurban 2020 dari sekitar 2,3 juta hewan ternak ini setara dengan 117 ribu ton daging," ujar Askar.
Swasembada Daging
Sebagai ritual tahunan, sejauh ini kebutuhan hewan kurban nasional bisa dipenuhi dari produksi ternak hewan domestik. Mengutip berita pada situs https://ditjenpkh.pertanian.go.id/ disebutkan bahwa pada tahun 2023 ini dari kebutuhan hewan kurban sebesar 1,7-2 juta ekor, sudah tersedia stok sebanyak 2,7 juta ekor secara nasional. Pada tahun-tahun sebelumnya juga terjadi hal yang sama, dimana kebutuhan hewan kurban secara nasional dapat dipenuhi secara domestik tanpa harus melakukan impor, bahkan selalu tersedia surplus antara permintaan-ketersediaan.
Tapi kondisi menjadi berbeda ketika kita bicara mengenai kebutuhan daging nasional setiap harinya. Menurut data BPS, rata-rata konsumsi daging per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2022 sebesar 4,01 kg. Rata-rata jenis daging tertinggi yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia adalah daging ayam ras sebesar 23,67 kg per kapita per tahun, kemudian disusul oleh daging ayam kampung sebesar 3,97 kg per kapita per tahun, selanjutnya daging babi sebesar 3,54 kg per kapita per tahun, daging sapi sebesar 1,59 kg per kapita per tahun dan daging diawetkan lainnya sebesar 1,22 kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2020, maka kebutuhan daging nasional diperkirakan lebih dari 1 juta ton per tahun. Khusus untuk daging sejenis sapi (sapi/kerbau), kebutuhan daging jenis ini diperkirakan per tahun mencapai lebih dari 400 ribu ton.
Berdasarkan data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor Desember 2022, Indonesia telah mengimpor daging jenis lembu (bovine meat) sebanyak 205 ribu lebih ton sepanjang tahun lalu. Angka itu menurun hampir 70 ribu ton dibanding volume impor daging jenis ini pada 2021. India dan Australia merupakan dua pengekspor daging lembu terbanyak ke Indonesia sepanjang periode 2017-2022. Data BPS menunjukkan terdapat pergeseran pola pada tahun lalu dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada periode 2017-2021, impor daging lembu yang masuk ke Indonesia sebagian besar berasal dari Australia, namun di tahun 2022, daging lembu yang diimpor Indonesia didominasi dari India.
Dengan kebutuhan domestik per tahun atas daging lembu mencapai lebih dari 400 ribu ton, sebenarnya produksi daging lembu nasional setiap tahunnya relatif bisa memenuhi kebutuhan tersebut, bahkan jumlahnya surplus. Data dari BPS menunjukkan pada tahun 2022 Indonesia mampu memproduksi daging sapi mencapai 498,98 ribu ton. Lima terbesar provinsi penghasil daging sapi nasional meliputi Jawa Timur dengan 110,09 ribu ton, Jawa Barat dengan 84,96 ribu ton, Jawa Tengah dengan 61,39 ribu ton, Sumatera Barat dengan 21,51 ribu ton dan Lampung dengan 21,18 ribu ton.
Tantangan Swasembada Daging
Timbul pertanyaan, kenapa di tengah surplus daging jenis lembu ini masih ada impor daging jenis lembu yang masuk ke Indonesia?. Terkait hal ini, pengusaha beralasan bahwa ketidakpastian ketersediaan daging sapi menjadi penyebab kebutuhan impor daging jenis lembu. Ketua Komite Tetap Industri Peternakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Yudi Guntara Noor mengatakan, populasi sapi yang banyak belum tentu menghasilkan daging sapi yang banyak. "Karena kan daging sapi dihasilkan kalau sapinya dipotong," ujar Yudi dalam sebuah webinar Kerja Sama Indonesia-Australia dalam Industri Sapi dan Daging Sapi 2021, Senin (22/3/2021).
Sedangkan saat ini, lanjut Yudi, umumnya jenis peternakan di Indonesia bersifat social security. Artinya, sapi baru akan dijual atau dipotong pada saat-saat tertentu seperti untuk kebutuhan finansial, kurban, hingga hajatan. "Itu tidak jelas kapan, sedangkan konsumen baik di DKI, Jawa Barat, dan daerah lainnya itu ada industri, rumah tangga, serta horeka (hotel, restoran, kafe) yang setiap harinya membutuhkan pasokan daging," jelas dia.
Jika yang disampaikan pengusaha mencerminkan kondisi riil dalam siklus produksi daging sapi di Indonesia, berarti manajemen produksi daging sapi di Indonesia menjadi tantangan serius bagi seluruh stake holder khususnya pemerintah, mulai dari permasalahan di bagian hulu seperti manajemen peternakan, pembibitan dan pakan, sampai permasalahan pada bagian hilir seperti manajemen pemotongan hewan, distribusi dan lain-lain. Akan tetapi tantangan swasembada daging tidak hanya itu saja, karena ada tantangan lain ke depan, yaitu jumlah keluarga yang mengusahakan usaha peternakan yang trennya cenderung menurun selama kurun waktu 2003-2013.
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun dibandingkan tahun 2003. Jika pada tahun 2003 ada 31,232 juta rumah tangga usaha pertanian, pada tahun 2013 menurun jumlahnya menjadi 26,135 juta. Penurunan hampir 5 juta rumah tangga usaha pertanian dalam kurun waktu 10 tahun menandakan setiap tahun rata-rata ada pengurangan rumah tangga usaha pertanian sebanyak 500 ribuan rumah tangga.
Dan penurunan jumlah rumah tangga peternakan termasuk yang terbesar dibandingkan penurunan pada sub sektor yang lain, dimana selama kurun waktu 10 tahun rumah tangga peternakan di Indonesia menurun jumlahnya, dari sebelumnya berjumlah 18,60 juta pada tahun 2003 menjadi 12,97 juta pada tahun 2013, atau terjadi penurunan jumlah sampai lebih dari 5 juta rumah tangga peternakan.
Penurunan jumlah rumah tangga peternakan cukup besar dibandingkan penurunan yang terjadi di sub sektor yang lain. Masih menurut hasil Sensus Pertanian 2013, rumah tangga tanaman pangan berkurang dari 18,71 juta pada tahun 2003 menjadi 17,72 juta pada tahun 2013. Kemudian rumah tangga hortikultura terjadi penurunan lebih drastis lagi, dimana pada tahun 2003 ada 16,94 juta rumah tangga usaha pertanian sementara pada tahun 2013 menjadi 10,60 juta. Untuk sub sektor perkebunan juga mengalami penurunan dari 14,13 juta pada tahun 2003 menjadi 12,77 juta pada tahun 2013. Selanjutnya untuk sub sektor perikanan menurun dari 2,49 juta pada tahun 2003 menjadi 1,98 juta pada tahun 2013. Untuk sub sektor kehutanan hanya mengalami penurunan tipis dari 6,83 juta pada tahun 2003 menjadi 6,78 juta pada tahun 2013. Dan terakhir pada sub sektor jasa pertanian mengalami penurunan dari 1,85 juta menjadi 1,08 juta pada tahun 2013.
Tantangan-tantangan ini tentu harus menjadi perhatian dari semua stakeholder pertanian khususnya peternakan, karena langsung maupun akan ada relasinya dengan isu ketahanan pangan yang menjadi concern banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Perlu ada keseriusan khususnya dari pemerintah untuk memitigasi berbagai potensi yang akan mengancam ketahanan pangan nasional. Sebagai negara dengan potensi pertanian yang besar, seharusnya Indonesia bisa tampil sebagai negara yang tidak hanya mampu memenuhi beragam kebutuhan pangan bagi warganya, tetapi juga bisa menciptakan surplus untuk berbagai komoditas pertanian sehingga bisa di ekspor ke luar negeri yang secara langsung berdampak terhadap kesejahteraan nasional, khususnya kesejahteraan petani. Semoga....
Penulis | : | Muji Basuki (Statistisi BPS Kota Pekanbaru) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |