Kedua, menjual harapan. Manusia hidup tentu memiliki harapan untuk masa depannya. Para kandidat akan berusaha untuk menyatukan harapan itu di dalam dirinya. Kandidat menjadi titik sentral untuk mewujudkan harapan hidup itu. Di sini akan ada upaya untuk memunculkan kandidat menjadi bagian dari setiap lembaga atau kelompok masyarakat. Pada fase ini yang dijual adalah kearifan lokal yang beraneka rasa. Harapan menjadi kunci awal atau pintu yang membuka orang berjanji. Dengan harapan kandidat mengidentifikasi masalah atau ingin melihat cita-cita warga dan dirinya dan dengan janji kandidat berusaha meyakinkan warganya bahwa dia bisa mewujudkan harapan itu. Salah satu yang paling berperan dalam upaya menyamakan persepsi atau harapan ini adalah pemimpin pendapat. Peran pemimpin pendapat atau orang-orang yang ditokohkan di masyarakat menjadi hal yang tak terelakkan dalam Pemilukada karena mereka akan lebih mudah menyampaikan pesan-pesan politik kandidat ketimbang kandidat sendiri.

Ketiga, kandidat akan berusaha membangun oposisi binner antara dirinya dengan kandidat lain di hadapan para pendukung atau pemilih. Oposisi biner adalah sebuah konsep mengenai pola pengenalan manusia terhadap simbol dan makna akan kata. Konsep ini menjelaskan mengenai suatu yang selalu memiliki lawan maka akan terbentuk nilai dan makna sesungguhnya. Oposisi biner sejatinya bukanlah sesuatu yang berlawanan, melainkan sesuatu yang saling melengkapi. Segala sesuatu yang saling melengkapi tidak dapat dipisahkan dengan tingkatan karena sejatinya kita tidak dapat memahami yang satu tanpa memahami yang lainnya. Seperti ada makna dan nilai akan kata “cantik” karena ada oposisinya, yaitu “jelek.” Bukan hanya cantik-jelek saja, hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan, pintar-bodoh, tinggi-pendek, baik-jahat, musibah-anugrah, dan ribuan kata lainnya yang kemudian bermakna dan bernilai lebih karena memiliki oposisi. Pada pemilukada yang terjadi adalah para kandidat sibuk bersalin rupa menjadi yang suci sementara yang lain kotor, yang paling bersih yang lain korup, yang paling merakyat yang lain tidak, yang paling banyak pendukung yang lain omong kosong, dan ungkapan-ungkapan demonstratif lainnya. Ungkapan-ungkapan ini tentu saja tidak akan keluar dari mulut kandidat saja, tapi dia akan menyebar melalui berbagai media bisa manusia melalui lisan, tetapi juga bisa melalui media tulisan.

Keempat, pemberian perintah kepada aparatur birokrasi adalah salah satu senjata utama yang akan dilakukan oleh kandidat petahana atau penguasa wilayah semisal bupati atau walikota. Para PNS berdiri di antara dilema jika sudah memasuki masa pemilu. Di satu sisi mereka memiliki pilihan, akan tetapi di sisi lain para pemimpin mereka terkadang menginstruksikan mereka untuk memilih yang lain.  Hal ini juga akan dilakukan oleh otoritas penguasa lain semisal pemimpin perusahaan, pemangku adat. Pada tahapan ini kandidat yang memiliki otoritas bisa menerapkan ancamannya jika ada anggotanya yang tidak sepaham atau terbukti mendukung kandidat lain. Dengan alasan yang dicari-cari seorang pegawai bisa saja disanksi melalui pelanggaran-pelanggaran kecil yang dibuatnya. Jika tuntutan dari pimpinan adalah untuk bersikap netral tentu itu harus diapresiasi, namun jika tuntutannya untuk mendukung salah satu pasangan yang disertai ancaman, inilah yang selalu sulit untuk dielakkan.  

Pada otoritas pemegang kekuasaan lain, akan ada peringatan atau himbauan yang sifatnya penting untuk dilakukan oleh anggota dari sebuah kelompok. Meskipun kadang terdengar sangat primordial namun himbauan itu tak jarang menumbuhkan semangat yang luar biasa untuk menyebarluaskan kepada khalayak atau kelompok lain. Himbauan semisal memilih kandidat sedaerah dengan kita, atau “Jangan pilih selain yang ini karena ini orang kita atau dia mewakili etnis kita, atau ini orang kampung kita.”  Kalimat ini akan santer terdengar di ruang-ruang publik semisal kedai kopi atau diskusi-diskusi di kampung-kampung. Pada tahap ini kandidat dan tim pemenangan juga akan berupaya memakai cara agitasi, yakni berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanaan yang besar bagi tujan yang langsung, dengan mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita.

Kelima, uang atau duit adalah pesan kandidat yang juga selalu mewarnai setiap kontes politik. Uang menjadi penting di sini karena tak ada even politik yang bebas uang. Meski tidak semuanya membutuhkan uang, tetapi segala sesuatunya lazim diketahui harus dimuluskan dengan uang. Uang menjadi pesan kandidat untuk meraup suara sebanyak-banyaknya di tengah kebingungan warga pemilih akan kebiasaan kandidat yang hanya memberi janji tapi tak kunjung terbukti. Otoritas uang adalah hal yang tak terbantahkan khasiatnya. Dengan uang tentu saja segala sesuatu bisa diperintah, bisa diancam, bisa digerakkan dan bisa untuk dikendalikan. Kekuasaan uang yang begitu besar dan penerimaan warga pemilih yang tinggi juga akan menjadikan uang menjadi sesuatu yang menarik untuk dinanti dalam pemilukada. Uang juga menjadi jaminan bagi kandidat bahwa dia maju tidak mencari uang tetapi untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Keenam, Metafora. Metafora adalah piranti bahasa yang menerangkan sesuatu yang tidak dikenal dengan mengidentifikasikannya dengan sesuatu yang lebih langsung, jelas dan dikenal. Dalam pembicaraan politik, metafora meminta perhatian kepada hasil-hasil yang diinginkan dari kebijakan yang diusulkan, sementara akibat-akibatnya yang kurang menguntungkan disembunyikan. Akan ada banyak pariwara prestasi dan citra yang ditonjolkan dalam hasil-hasil pembangunan yang dilakukan kandidat selama ini, sementara korupsi dan kolusi atau keburukan yang pernah dilakukan tidak disinggung-singgung.

Ketujuh, Eufemisme. Yaitu istilah yang tidak ofensif sebagai pengganti istilah yang dianggap tegas secara ofensif. Maksudnya agar aktualitas yang jelek itu menjadi diterima secara lingualistik.  Kandidat dan para timnya akan berusaha untuk melakukan penyederhanaan dan penghalusan bahasa untuk menjawab setiap serangan yang dilakukan oleh kandidat lain atau masyarakat terhadap hal-hal yang selama ini berkaitan dengannya. Contoh: Penaikkan harga menjadi penyesuaian harga, sogokan menjadi sumbangan yang tak diminta, atau infak, penjara menjadi rumah permasyarakatan, ditahan menjadi diamankan dan lain-lain. Permainan eufemisme ini juga akan banyak kita temukan pada saat pemilukada dimana orang-orang menyukai kata-kata indah dan tidak suka dengan pengandaian yang jorok.

Pembicaraan politik seperti ini mau tak mau akan kita lihat kehadirannya selama beberapa  bulan ke depan sesaat menjelang pemilukada. Kecerdasan dan kedewasaan pemilih tentu saja menjadi hal yang sangat penting untuk diterapkan. Pola komunikasi kandidat bersama tim akan sangat menentukan sejauhmana dia bisa meramu kekurangan menjadi kelebihan, merangkai kalimat yang membangkitkan semangat dan memberi citra pemimpin yang elok dan tak berkelok-kelok.  Karena jika tidak cermat dan teliti bisa saja pemilih tidak memahami apa yang ingin disampaikan kandidat atau malah menilai sebaliknya dari apa yang disampaikan oleh kandidat.

Sebagai pemilih kita tentu berharap para kandidat dapat memberi pelajaran politik yang santun kepada warganya tidak hanya pada slogan dan kata-kata tetapi juga terealisasi dalam aksi nyata di lapangan. Kita juga berharap media massa dapat memberitakan secara seimbang antara kandidat yang satu dengan yang lain sehingga semua warga mendapat informasi yang baik dan berguna untuk menentukan pilihannya dalam berbagai pemilihan yang dikutinya. Semoga!