
![]() |
Irfarial, SE
|
Secara berkala terlihat pejabat pemerintah dari berbagai instansi terkait (pejabat tinggi bahkan kepala daerah) turun ke pasar-pasar memantau pergerakan harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat, terutama pada hari-hari tertentu dimana masyarakat meningkatkan permintaannya atas barang-barang dan jasa. Juga pada akhir tahun, dimana ada dua momen yang cukup besar yaitu Natal dan Tahun Baru.
Turun naiknya harga komoditas barang maupun jasa dalam perekonomian akan selalu terjadi, sehingga menemukan titik keseimbangan yang menyebabkan terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Ketersediaan pasokan selalu tidak seiring dengan banyaknya permintaan, sehingga ketika terjadi peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa maka secara alamiah harga dari barang-barang dan jasa merangkak naik. Kenaikan harga barang-barang dan jasa tersebut naik, disebabkan karena tidak dapat serta merta secara paralel menambah pasokan barang-barang dan jasa di dalam pasar. Apalagi jika barang-barang dan jasa tersebut produsennya berada di luar wilayah tersebut.
Di sinilah perlunya campur tangan pemerintah dalam mengatur tata kelola perdagangan barang-barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga ketika terjadi kenaikan harga tidak terlalu membebankan masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, apalagi masyarakat yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Sebaliknya demikian juga ketika terjadi penurunan harga, tidak terlalu membebankan pihak produsen yang memproduksi barang-barang dan jasa, sehingga bahkan harus menghentikan produksinya karena tidak mampu menutupi biaya produksi karena merugi. Dan lebih parahnya harus mengurangi jumlah tenaga kerja.
Naik turunnya harga disebut dengan inflasi atau deflasi. Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor penyebab demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut dapat bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP).
Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan. (https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/moneter/inflasi/default.aspx).
Inflasi merupakan suatu gejala ekonomi yang tidak dapat dihilangkan dengan tuntas, usaha-usaha yang dilakukan biasanya hanya sebatas mengurangi dan mengendalikannya. Usaha yang dilakukan pemerintah dan bank sentral untuk mengendalikan inflasi adalah melalui kebijakan moneter, fiskal, dan non moneter.
Angka Inflasi yang dirilis oleh BPS setiap bulannya dapat menjadi early warning (peringatan dini) bagi pemerintah baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota dalam menentukan kebijakan yang diambil untuk mengendalikan harga sehingga tidak terjadi tingkat inflasi yang tinggi.
Namun Provinsi Riau sempat kecolongan ketika Presiden Jokowi pada bulan Agustus 2022 dalam rapat koordinasi nasional Pengendalian Inflasi tahun 2022 pada bulan Agustus yang lalu menyebutkan terdapat lima provinsi yang memiliki inflasi tinggi di bulan Juli 2022. Salah satunya adalah Provinsi Riau. Inflasi Riau (y-on-y) pada bulan Juli mencapai 7,04 persen. Kalau diurutkan Riau nomor empat tertinggi, yang pertama Provinsi Jambi 8,55 persen, Sumatera Barat 8,01 persen, Bangka Belitung 7,77 persen, dan Riau 7,04 persen. Yang kelima adalah Aceh sebesar 6,97 persen.
Diharapkan kedepannya, pemerintah provinsi Riau bersama TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) Provinsi Riau berikut TPID Kabupaten/Kota dan Organisasi Perangkat Daerah yang ditugaskan untuk menjaga ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga terjangkau terus berkolaborasi dan cermat memantau pergerakan harga-harga yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Penulis | : | Irfarial, SE (Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |










































01
02
03
04
05






