Dr. Biryanto
|
BULAN Ramadan 1441 H akan segera berakhir dalam hitungan beberapa hari lagi. Bagi umat Islam, hari-hari di penghujung Ramadan atau biasanya di sepuluh hari terakhir banyak yang memanfaatkannya untuk beritikaf. Itikaf sendiri merupakan kegiatan berdiam diri di dalam masjid dengan melakukan berbagai ibadah wajib dan sunah dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Aktivitas selama beritikaf diantaranya melaksanakan salat wajib dan sunah, membaca Alquran, berzikir, dan bermuhasabah. Mengingat saat ini masih dalam kondisi pandemi COVID-19 dan masih diberlakukannya PSBB di beberapa daerah, maka aktivitas itikaf dapat juga dilaksanakan di dalam rumah dengan memilih waktu yang tepat seperti di malam hari.
Sebagai salah satu aktivitas itikaf, muhasabah atau introspeksi diri memiliki peran yang penting untuk lebih mengenal diri sendiri, mengingat kembali apa-apa yang telah dilakukan, dan mengevaluasi seberapa jauh perbuatan baik dan buruk yang selama ini dikerjakan. Muhasabah tersebut bertujuan untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah SWT (habluminallah), hubungan dengan sesama manusia (habluminannas), dan hubungan dengan diri sendiri (habluminannafsi). Muhasabah sebenarnya merupakan proses komunikasi yang dilakukan dengan diri sendiri atau yang dalam bahasa komunikasinya dikenal dengan sebutan komunikasi intrapersonal.
Bagi kebanyakan orang, komunikasi biasanya diartikan sebagai suatu proses percakapan antara dua orang atau lebih, baik secara langsung maupun melalui media komunikasi. Namun, dalam ilmu komunikasi, aktivitas komunikasi memiliki ranah studi yang luas, termasuk di dalamnya berkomunikasi dengan diri sendiri.
Secara sederhana, terdapat lima tahapan dalam proses komunikasi intrapersonal yaitu sensasi (menerima stimulus), asosiasi (menyesuaikan makna stimulus dengan pengalaman), persepsi (memberi makna terhadap stimulus), memori (memproses stimulus secara kognitif, emosional, dan fisiologis), dan berpikir (penafsiran terhadap makna stimulus).
Seseorang yang melakukan komunikasi intrapersonal yang tidak fokus dapat berakhir pada fase berpikir autistik (melamun), dan hal ini tentu tidak diharapkan dalam melakukan muhasabah. Untuk itulah perlu pemantapan komunikasi intrapersonal yang fokus, sehingga tujuan muhasabah untuk memperbaiki hubungan tiga arah tersebut dapat terwujud melalui fase berpikir yang realistik, khususnya berpikir evaluatif (kritis) yaitu menilai sesuatu yang baik dan buruk terhadap apa-apa yang telah dilakukan.
Berpikir evaluatif dalam komunikasi intrapersonal memiliki pengaruh penting terhadap cara pandang seseorang yang lebih objektif terhadap sesuatu yang telah dilakukannya. Pada fase inilah biasanya seseorang mengalami rasa syukur dan bahagia terhadap perbuatan baik yang telah dilakukannya, ataupun sebaliknya rasa penyesalan dan berdosa terhadap perbuatan salah yang telah dilakukannya.
Berikut ini beberapa metode yang dapat dilakukan untuk memantapkan komunikasi intrapersonal:
Memahami Konsep Diri
Banyak diantara kita yang lebih sering dan sibuk memperhatikan dan menilai orang lain daripada memperhatikan dan menilai diri sendiri. Akibatnya, kita sering terjebak untuk menemukan kesalahan orang lain daripada kesalahan diri sendiri.
Ketika kita selalu merasa benar daripada orang lain, maka konsep diri yang kita pakai adalah manusia yang sempurna, padahal manusia itu tidak ada yang sempurna alias pasti ada lebihnya dan tentu banyak kurangnya. Konsep diri itu sendiri didefinisikan secara ringkas oleh Carl Rogers seorang penemu psikologi humanistik sebagai pengetahuan seseorang terhadap dirinya. Seseorang yang tidak mengetahui dirinya dengan baik, tentu akan sulit melakukan introspeksi terhadap dirinya. Sederhananya, bagaimana kita mau mengevaluasi diri, bila kita tidak mengenal diri sendiri.
Untuk membangun konsep diri yang kuat dan positif, maka kita dapat menggunakan tiga pendekatan yaitu self-image, self-esteem, dan ideal-self. Membangun citra diri (self-image) yang positif dapat dilakukan dengan senantiasa berusaha berbicara, bersikap, dan berbuat baik. Berikutnya, membangun pribadi yang menghargai diri sendiri (self-esteem) dengan memupuk rasa syukur terhadap karunia yang diterima, sehingga kita tidak disibukkan mencari kelebihan dan kekurangan orang lain. Terakhir, sebagai seorang muslim tentunya kita memerlukan sosok ideal (ideal-self) sebagai panutan yang menjadi indikator kepribadian yang akan dicapai, dalam hal ini tentu ada pada diri pribadi Nabi Muhammad SAW.
Membuka Diri
Menurut Joseph A. DeVito, dari semua komponen tindak komunikasi, maka yang paling penting itu adalah diri (self). Setiap orang yang akan berkomunikasi maka terlebih dahulu mempersepsikan dirinya sendiri kepada lawan bicaranya. Pada konteks komunikasi intrapersonal, maka seseorang mempersepsikan dirinya dari sudut pandangnya sendiri dalam menilai dirinya. Penilaian yang positif terhadap diri sendiri akan memberikan harapan untuk perubahan ke arah yang lebih baik, dan begitu pula sebaliknya. Untuk itu diperlukan tindakan membuka diri (self disclosure) secara jujur pada diri sendiri. Biar pun kita berkomunikasi dengan diri sendiri, tidak jarang kita mencari-cari pembenaran terhadap tindakan kita yang salah, sehingga mengabaikan nilai kebenaran dan membohongi diri sendiri.
Membuka diri dalam komunikasi intrapersonal menunjukkan adanya iktikad dari dalam diri untuk menerima kekurangan dan mengakui kesalahan yang telah dilakukan. Menerima kritikan dari diri sendiri kadangkala lebih efektif pengaruhnya, karena kita tahu persis dimana letak kesalahannya dan bagaimana harus memperbaikinya. Berkaitan dengan muhasabah, maka seseorang yang membuka diri terhadap kekurangan dan kritikan dari dirinya sendiri, akan memberikan semangat baru untuk memperbaikinya di kemudian hari, sehingga kesalahan tersebut tidak terus berulang.
Melakukan Empati
Ketika kita melakukan komunikasi intrapersonal, sering kali kita membayangkan sikap dan perbuatan yang telah kita lakukan terhadap seseorang, baik itu yang kita persepsikan membahagiakan ataupun yang menyakiti perasaan orang lain. Agar persepsi kita mendekati rasa yang sesungguhnya terjadi terhadap perbuatan yang telah dilakukan, maka kita perlu mempersepsikan bagaimana jika kita sendiri menjadi orang tersebut dan diperlakukan hal serupa oleh orang lain. Menjadi diri orang yang bersangkutan dengan perlakuan yang sama itulah yang dimaknai sebagai empati. Hasilnya tentu kita bisa lebih peka dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh yang bersangkutan, karena kita menjadi orang tersebut dan berada di posisi yang sama.
Bila empati diterapkan dalam komunikasi intrapersonal, maka kita akan dapat menemukan ketepatan yang cenderung lebih objektif untuk mengevaluasi apa-apa yang telah kita perbuat kepada orang lain. Ketika yang muncul itu perasaan dominan senang maka kita akan terus melakukannya di kemudian hari dengan senang hati. Perasaan ini timbul bila kita dapat membantu orang lain, menjaga hubungan baik dengan orang lain, dan perbuatan lainnya yang memberikan kebahagiaan pada orang lain.
Di sisi yang lain, bila perasaan sedih dan menyesal yang muncul dominan, maka kita akan menghentikan perbuatan tersebut dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan. Perasaan ini muncul bila kita sadar telah menghina orang lain, menyakiti orang lain dan perbuatan lainnya yang tidak baik.
Dari uraian yang telah dikemukakan tersebut dapat dipahami betapa komunikasi intrapersonal dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi perbaikan diri seseorang bila dilakukan dengan efektif. Salah satu fungsi penting dari komunikasi intrapersonal adalah mempersuasi diri sendiri untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, dan hal tersebut sangat nyata searah dengan tujuan melakukan muhasabah.
Melalui momentum di penghujung bulan Ramadan yang mulia ini, maka sangatlah bijak bila kita dapat memantapkan kemampuan komunikasi intrapersonal, sehingga menjelang datangnya hari nan fitri nanti, kita bisa berubah menjadi pribadi baru yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi sesama. ***
Penulis | : | Dr. Biryanto (Praktisi Komunikasi) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |