Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env
|
Salah satu isu dan masalah lingkungan di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) dalam hampir dua dekade terakhir yang menjadi sorotan masyarakat serta dampak luas terhadap sosial, ekonomi, dan ekologi/lingkungan adalah berkenaan penambangan emas tanpa izin (PETI). Walaupun telah banyak usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak; mulai dari masyarakat, aparat desa, kecamatan, Pemkab Kuansing, hingga aparat kepolisian yang merazia dan menindak aktivitas PETI, namun kenyataanya hingga kini aktivitas PETI terus terjadi. Hari ini diberantas, tak berapa lama kemudian muncul lagi. Atau ditertibakan di satu lokasi, kemudian beraksi lagi di lokasi lain. Begitulah fenomena yang berlaku semenjak aktivitas PETI bermula di Kuansing.
Oleh karena aktivitas PETI sudah berjalan puluhan tahun, dan banyak pihak yang terlibat di dalamnya (masyarakat, aparat desa, pemilik modal, oknum pejabat, aparat keamaan) sehingga masalahnya menjadi kompleks dan semakin sukar mengatasinya.
Jika dicermati, terdapat dua masalah utama yang menyebabkan kegiatan ini terus berlansung hingga kini, yaitu; pertama, berkaitan erat dengan tekanan ekonomi yang dialami masyarakat menengah ke bawah, sehingga mereka secara rela atau terpaksa terlibat dalam aktivitas PETI. Untuk kategori ini, mayoritas hanya terlibat sebagai pekerja/buruh dalam aktivitas PETI, dengan upah yang hanya sekedar untuk kebutuhan sembako dan dapur bisa berasap. Istilah kampung, ini berkenaan dengan piti kenek, uang recehan.
Untuk masalah yang pertama ini, juga berkelindan dengan berbagai faktor lainnya, yaitu; (a) harga komoditi pertanian (karet, sawit, pisang, jagung, ubi dan kelapa) yang senantiasa berfluktuasi (turun-naik) dan tidak ada kepastian harga, mengikut mekanisme pasar. Ketika panen melimpah, harga anjlok dan sebaliknya panen merosot harga meroket. (b) Merosotnya hasil perikanan (ikan, udang, lokan, cipuik di sungai dan danau akibat degradasi kualitas ekosistem perairan. (c) Punahnya hutan, akibat alihfungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HPH) dan guna lahan lainnya, sehingga berdampak langsung terhadap produk kayu (timber); meranti, kempas, kulim, medang, daru-daru, rengas, mahang, seminai dan produksi hutan non-kayu (non-timber); madu, damar, getah, gaharu, kancil, rusa, punai, kuaran, dan buah-buahan hutan; petai, nangka hutan, buah barangan, tampoi, kabau. (d) Lahan penggembalaan hewan ternak (sapi, kerbau, kambing, dan itik) semakin menyempit dan menghilang.
Kedua, berkenaan dengan keuntungan berlipat ganda dari hasil PETI, yang istilah kampungnya berkenaan dengan piti godang, dengan omzet nominal puluhan hingga ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Masalah kedua ini, melibatkan para pemodal, aparat desa, aparat keamanan dan oknum pejabat dan elit politik, dengan harapan dan iming-iming laba besar dari emas yang akan didapatkan. Dua sampai tiga kali gagal, masih dapat tertutupi dengan sekali kesuksesan. Dan perlu diingat, bahwa kualitas bijih emas di Kuansing adalah diantara yang terbaik di Riau, bahkan mungkin di Nusantara. Oleh karena itu, kelompok kedua ini dapat juga dikatakan sebagai mafia dalam kegiaatan PETI, yang tak jarang menggunakan segala cara untuk memuluskan aksi mereka. Kenapa? karena harapan dari kilauan bijih emas yang menggiurkan.
Masalah yang berkenaan dengan faktor yagn kedua ini lebih sukar lagi, karena didukung oleh sumber kapital yang besar, jaringan dan koneksi yang mantap, kedudukan dan jabatan, bahkan wewenang yang dimilikinya. Pandai dan lihai membaca situasi. Berpengalaman tinggi dalam dunia kamuflase, manipulasi, intimidasi dan intrik lainnya. Tidak bisa secara halus, cara kasar dimainkan. Seperti halnya para mafia di dalam kartel narkoba, perjudian, dan prostitusi. Semua jurus dan cara dikerahkan, bahkan cara cara kotor dan keji dipraktikkan.
Solusi dan Penyelesaian
Berdasarakan uraian diatas, maka solusi dan penyelesaian yang dapat diterapkan di dalam memberantas PETI, khususnya di Kabupaten Kuansing, adalah seperti berikut: (a) menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi kreatif ramah lingkungan yang berbasiskan pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sumberdaya alam lainnya, yang disesuaikan dengan potensi setiap desa. Seperti pengembangan desa wisata bagi desa yang memiliki keanekaragaman dan pesona keindahan alam, seni-budaya dan peninggalan sejarah. Kegiatan ekonomi kreatif ini akan dapat untuk mengalihkan masyarakat dari bekerja sebagai tenaga kerja/buruh PETI, dengan upah tak menentu dan risiko tinggi bagi jiwa dan raga (kesehatan).
(b) Menumbuhkembangkan keanekaragaman aktivitas ekonomi masyarakat selain pertanian dan perikanan, seperti; kerajinan, industri rumah tangga (home industry), perdagangan dan jasa. (c) Memberikan advokasi dan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingya menjaga kelestarian lingkungan serta faedah yang didapat dari menjaga kelestarian lingkungan dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. (d) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) pedesaan melalui penyuluhan dan pelatihan secara berkala, sehingga dapat meningkatkan soft skill (manajemen, bahasa, komputer) dan hard skill (bengkel, las, tukang, menjahit, kuliner, tata rias dasn yang sejenisnya) yang akan dapat meningkatkan daya saing dan pengembangan kreativitas dan inovasi.
(e) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) pedesaan untuk jangka panjang melalui pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT), dimana seluruh warga desa dalam usia sekolah dipastikan semuanya bersekolah dan tidak ada yang putus sekolah, dan diberikan bantuan bagi yang tidak mampu, dan yang lebih ekstrim lagi orang tua diberikan sanksi bagi yang mentelantarkan pendidikan anaknya seperti yang berlaku di negara maju. (f) Kemauan dan kesungguhan pemerintah, mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga pusat di dalam pemberantasan PETI, melalui peraturan, undang-undang dan kewenangan yan dimiliki. Point ini juga sangat menentukan dan berpengaruh signifikan di dalam pemberantasan PETI, karena merupakan agent utama pembangunan. Dalam konteks ini juga disebutkan, bahwa kegagalan pemberantasan PETI dalam pembahasan ini, juga bermakna kegagalan Pemkab Kuansing dalam kapasitasnya sebagai motor utama pembangunan di Kuansing.
(g) Peningkatan peran aktif dari Camat yang berkoordinasi dan bekerjasama dengan Kepala Desa dan jajarananya sebagai mitra agent pembangunan desa. Peran sentral Camat sebagai ujung tombak pembangunan desa, khususnya di dalam pemberdayaan masyarakat desa, baik di bidang sosial, ekonomi dan keagamaan. Peranan Camat di dalam pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakt desa kerap terabaikan belakangan ini. Camat hanya lebih disibukkan urusan administrasi pemerintahan (urusan KTP, surat tanah, izin usaha, dan yang semisalnya), rutinitas kerja dan seremonial belaka, tanpa pro-aktif di dalam pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat desa. Bahkan yang memiriskan, banyak Camat yang jarang turun ke desa dan mengenal baik desa dan warganya, potensi desa dan yang lainnya. Sebaliknya, warga desa juga banyak yang tak kenal dengan Camatnya. (h) Penegakan hukum (enforcement law), khususnya disini di dalam kaitan dengan kejahatan lingkungan (environmental crime) seperti PETI. Peran aktif aparat kepolisian mulai dari polsek, polres hingga polda sangat menentukan di dalam upaya pemberantasan PETI. Point yang terakhir ini, merupakan titik sentral di dalam usaha pencegahan dan pemberantasan PETI.
Penulis berharap, aktivitas PETI di Kuasing untuk segera diakhiri, karena dampak negatifnya yang begitu dahsyat terhadap ekologi, sosial-ekonomi dan budaya. Mudharat dan dampak negatifnya untuk jangka pendek dan panjang jauh lebih banyak berbanding manfaat yang didapatkan dari aktivitas PETI. Marilah secara bersama, seluruh stakeholder pembangunan untuk mengembangkan green economy, yaitu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tetap dan senantiasa menjaga dan melestarikan lingkungan. Ekonomi tumbuh dan berkembang, dan dalam masa yang sama lingkungan juga terpelihara dan terjaga. Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya alam tak terbarukan di Kuansing seperti emas, batu bara, dan yang lainnya, dilakukan dengan cara cara yang ramah lingkungan, dan juga harus dipastikan bahwa masyarakat tempatan (lokal) dapat memperoleh faedah yang sebesar-besarnya. Tidak hanya sebagai penonton. Harus bisa memperoleh manfaat/faedah dari kekayaan yang dimiliki secara signifikan, sesuai dengan kapasitas dan usaha warga. Dan hal ini, sesuai dan seirama dengan konsep dan filosofi dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Semoga. Allahu a’lam.
Penulis | : | Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env (Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau, Pekanbaru) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |