Survey menunjukkan setidaknya Ada tujuh perihal yang menjadi tantangan pilkada 2020 yaitu pandemic Covid-19, tahapan dan anggaran yang tertunda, regulasi yang tidak jelas, politisasi dan kampanye terselubung para oligarki, kondisi geografis daerah pemilihan, profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilihan serta politik transaksional calon peserta pemilahan.
Dalam tulisan ini saya tidak mengulas semua item permasalahnnya tetapi memfokuskan pada kondisi masa tenang H-1 Pilkada serentak 2020 berpotensi terjadinya politik transaksional seperti politik uang meningkat. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari perekonomian masyarakat akibat dampak pandemi Covid-19 yang diyakini akan dimanfaatkan calon kepala daerah untuk melakukan politik uang dalam memperoleh suara masyarakat. Kerawanan politik uang cukup tinggi dikarenakan perekonomian masyarakat yang terdampak menunjukkan stabilitas yang buruk serta semakin diperparah oleh preferensi politik masyarakat yang melihat kandidat dari aspek materi. Pilkada pada masa pandemi ini mau tidak mau harus dilaksanakan dengan tidak biasanya. Semua tahapan mesti harus mengikuti protokol kesehatan yaitu mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak atau yang dikenal dengan istilah 3M karena tidak ingin ada klaster baru di pilkada ini. Maka dari itu pilkada 2020 ini tetap harus kita sukseskan agar terpilih kepala daerah yang kapabel dan amanah.
Pilkada langsung di Provinsi Riau sudah berlangsung sejak tahun 2005 sampai pada tahun 2020 ini yang akan melaksankan pilkada ada di 9 Kabupaten/Kota, tetapi apakah pilkada tersebut sudah berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan bagi banyak orang ataukah hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja. Sangat disayangkan jika pola pikir masyarakat masih terbentur dengan pilihan-pilihan politik yang irasional yaitu masyarakat tidak memiliki sense of civic competence sehingga mereka tidak begitu memedulikan keadaan lingkungannya, apalagi berpartisipasi dalam konteks politik. Kalaupun ada keterlibatan mereka dalam aktivitas politik tertentu, misalnya kampanye, tak lain adalah proses mobilisasi yang dilakukan oleh kelompok atau partai politik tertentu apalagi praktik politik uang yang mungkin dilakukan oleh tim sukses kandidat atau aktor-aktor tertentu yang tidak mempertimbangkan etika.
Pada kesempatan ini saya mencoba untuk mengedukasi warga Riau khususnya daerah yang akan melaksanakan pilkada agar warganya menjadi pemilih rasional. Walaupaun dalam kondisi itu saya yakin kalau warga kita saaat ini pada keadaan status sosial ekonomi yang cukup atau tebilang masih kelompok menengah kebawah, dengan tingkat pendidikan yang memadai. Maka yang menjadi pesan KPK, Bawaslu, Pesan Para Ulama ataupun pesan orang baik yaitu jangan Golput tapi tolak politik uang dan tolak suap menyuap. Mengutip dari H.R Muslimin penyuap dan pemberi suap tempatnya neraka, maka pada kesempatan ini saya sampaikan secara tegas politik uang hukumnya HARAM.
Politik uang melanggar hukum dan etika moral berdemokrasi yang berdampak terhadap pilkada menjadi regres bahkan tidak berkualitas. Mekanisme demokrasi yang melibatkan partisipasi warga masyarakat, pemimpin yang berkualitas itu sebenarnya mudah dimunculkan. Tentunya dengan syarat bahwa masyarakat sebagai pemilih mempunyai pertimbangan rasional terhadap pilihannya. Artinya, masyarakat sebagai pemilih harus memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan latar belakang sosial, integritas moral, keberpihakan, kejujuran, dan prestasi politik calon pemimpin yang dipilihnya. Dengan demikian, proses yang menonjol dalam diri pemilih sebagai dasar pertimbangannya adalah unsure kognisinya ketimbang unsure afeksi.
Penipuan yang berkedok kebaikan merupakan pangkal kesengsaraan rakyat hingga ke anak cucu seperti praktik black campaign di masa tenang ini. Jangan pernah bermimpi punya kepala daerah jujur dan amanah jika kita sebagai warga hak suaranya masih bisa dibeli. Pilihalah kandidat atau calon yang taat, bersih dan dekat dengan warga karena yang dekat dengan warga pasti merasa kwatir kalau mengabaikan amanah warganya, apalagi kalau ada calon yang dekat dengan lingkungan kita yang sehari-hari sudah tau track record, watak, karakter dan tentunya memiliki pengalaman selama memegang amanah atau jabatan dipemerintahan baik di legislatif maupun di eksekutif. Maka insyaAllah dalam lima tahun ke depan warga kita akan merasakan buah manis dari pembangunan dan kesejahteraan itu terasa semakin dekat. Suatu kenyataan, jika mengetahui harapan masyarakat terhadap munculnya pemimpin Bupati/ walikota Riau yang berkualitas, mengingat demotivasi kepemimpinan kepala daerah di Riau tersangkut kasus korupsi, bisa kita tracking semenjak reformasi sampai sekarang.
Untuk itu jelang pencoblosan esok 9 Desember 2020, ada berbagai tipologi yang bisa saya sampaikan untuk dapat digunakan dalam mengidentifikasi siapa kandidat yang tepat dan layak untuk kita pilih. Pada kesempatan ini saya membaginya dalam dua dimensi besar agar memahaminya lebih terukur, yakni pertama kandidat yang berorientasi pada policy-problem-solving (selanjutnya disebut orientasi kebijakan) terlihat dari visi & misinya dan kandidat yang memiliki orientasi ideology terlihat dari komitmen dan konsistensinya dalam membangun negeri kita. Selanjutnya saya menyampaikan bagaimana tips dan trik untuk menjdaio pemilih yang cerdas, langkah pertama ibarat mencari kekasih tentu tidak ingin sembarang memilih, tidak seperti membeli kucing dalam karung, tau dan mengerti siapa yang akan dipilih. Langkah kedua lihat visi, misi dan program kandidat atau partai politik pengusungnya (lihat track record). Langkah ketiga gunakan hak pilih (dating ke TPS pilih cukup satu kali mencoblos). Langkah keempat awasi kinerjanya (keep on your eyes) jangan lagi kalau tidak amanah.***
Penulis | : | Alexsander Yandra, Peneliti pada Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan FIA Unilak |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat |