Dr. Biryanto
|
Sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 yang lalu, ternyata tidak mengakhiri polemik yang terjadi terhadap implementasi dan dampak UU dimaksud. Memang jauh-jauh hari sebelum pengesahan UU Cipta Kerja tersebut, telah terjadi gelombang aksi penolakan oleh beberapa elemen masyarakat di berbagai daerah yang meminta agar UU ini tidak jadi disahkan. Namun begitu UU Cipta Kerja tetap disahkan dan secara resmi diundangkan pemerintah pada tanggal 2 November 2020.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap UU Cipta Kerja, tidak dapat dipungkiri bahwa UU ini merupakan produk hukum pertama di Indonesia yang mengatur banyak hal dengan mengubah dan ataupun menghapus beberapa pasal dalam undang-undang yang lain pada waktu yang bersamaan. Inilah sebabnya UU Cipta Kerja disebut juga omnibus law atau yang secara sederhana diartikan satu undang-undang yang mengatur banyak hal. Selayaknya omnibus law, ruang lingkup UU ini mencakup sepuluh kebijakan strategis Cipta Kerja dan mengatur 15 sektor perzinan berusaha. Salah satu sektor yang diatur dalam UU Cipta Kerja ini adalah kebijakan di sektor pariwisata.
Berbeda dengan reaksi masyarakat yang lebih banyak menyoroti perubahan berbagai pasal dalam UU ketenagakerjaan, hal yang terjadi justru sebaliknya terhadap adanya perubahan kebijakan di sektor pariwisata. Pemangku kepentingan pariwisata terutama para pelaku usaha pariwisata masih terkesan “wait and see” terhadap UU Cipta Kerja ini. Hal ini tidak terlepas dari belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai produk hukum turunan UU Cipta Kerja di sektor pariwisata, yang sejatinya mengeliminasi berbagai Peraturan Menteri sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Sesuai dengan Paragraf 3, Pasal 67 dalam UU Cipta Kerja, terdapat enam pasal dalam UU Kepariwisataan yang mengalami perubahan yaitu pasal 14, 15, 26, 29, 30, dan 54. Perubahan pasal 14 menekankan bahwa usaha pariwisata yang meliputi 13 unsur yaitu: daya tarik wisata; kawasan pariwisata; jasa transportasi wisata; jasa perjalanan wisata; jasa makanan dan minuman; penyediaan akomodasi; penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; jasa informasi wisata; jasa konsultan pariwisata; jasa pramuwisata; wisata tirta; dan spa, tidak lagi diatur oleh Peraturan Menteri, namun diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penguatan dasar hukum yang mengatur sub sektor usaha pariwisata ini menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk menjamin kepastian hukum dalam menjalankan usaha pariwasata, sehingga kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah harus ditaati oleh peraturan di bawahnya seperti Peraturan Daerah. Kondisi ini tentunya dapat mendorong peningkatan investasi pada usaha pariwisata yang ada di Indonesia.
Berikutnya perubahan pada pasal 15 yang menekankan bahwa penyelenggaraan usaha pariwisata wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, kriteria yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Adanya penekanan pada norma sebagai dasar dalam perizinan berusaha pariwasata ini menunjukkan bahwa usaha pariwisata yang dijalankan haruslah disesuaikan dengan aturan dan tatanan tingkah laku yang berlaku di masyarakat setempat. Selain itu usaha pariwasata juga harus memiliki standar, prosedur, dan kriteria yang memungkinkan memberikan kenyamanan dan perlindungan kepada masyarakat lokal maupun para wisatawan.
Lahirnya UU Cipta Kerja juga memberikan pengaruh penting pada kemudahan penerbitan izin berusaha pariwisata. Perubahan pada Pasal 29 ayat 1 huruf c dan Pasal 30 ayat 1 huruf d dalam UU Kepariwisataan, yang mengatur kewenangan pemerintah daerah melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata diubah menjadi kewenangan menerbitkan perizinan berusaha. Dengan perubahan ini maka diharapkan menjadi stimulus positif bagi masyarakat luas untuk ikut berusaha di sektor pariwisata. Perubahan ini juga memperkuat kewenangan pemerintah daerah yang diharapkan menjadi pendorong peningkatan pendapatan daerah.
Perubahan yang terakhir adalah pada Pasal 54 yang mengatur tentang standar usaha pariwisata yang meliputi produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata. Standar usaha pariwisata saat ini tidak lagi dilakukan melalui sertifikasi usaha, namun dilakukan dengan memenuhi ketentuan perizinan berusaha. Perubahan ini diharapkan dapat memberikan semangat positif dan mempermudah para pelaku usaha pariwisata untuk menjalankan usahanya. Sederhanya, standarisasi usaha pariwisata kedepannya menjadi satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan perizinan berusaha di sektor pariwisata.
Adapun pasal-pasal dalam UU Kepariwisataan yang dihapus dan tidak berlaku lagi adalah Pasal 15, 56, dan 64. Pada Pasal 15 disebutkan bahwa pengusaha pariwasata wajib mendaftarkan usahanya terlebih dahulu kepada pemerintah atau pemerintah daerah. Terlihat disini masih adanya rantai yang panjang untuk memperoleh izin berusaha pariwasata. Dengan dihapusnya Pasal 15 tersebut diharapkan pengusaha pariwisata dapat langsung mengajukan perizinan berusaha dengan tetap memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya kebijakan yang dihapus adalah tentang tenaga kerja ahli warga negara asing yang diatur dalam Pasal 56 UU Kepariwisataan. Penghapusan pasal ini sebenarnya dapat menjadi titik lemah dari UU Cipta Kerja karena tidak ada aturan yang jelas bagi pengusaha pariwisata dalam memperkerjakan tenaga kerja ahli warga negara asing. Selain itu tenaga kerja ahli warga negara asing dapat bekerja tanpa adanya lagi rekomendasi dari organisasi asosiasi pekerja profesional kepariwisataan.
Terakhir, pasal tentang kebijakan sektor pariwisata yang dihilangkan dalam UU Cipta kerja adalah Pasal 64 UU Kepariwasataan yang mengatur tentang ketentuan pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya menyebabkan terjadinya kerusakan dan atau mengurangi daya tarik wisata. Dihapusnya pasal ini cukup disayangkan karena perlindungan terhadap daya tarik wisata seperti keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang memiliki nilai wisata menjadi lemah.
Namun di sisi lain perlu pula dipahami bahwa penghapusan ketentuan pidana yang berat tersebut dapat juga dimaksudkan untuk memberikan rasa nyaman bagi para wisatawan. Perlindungan terhadap wisatawan ini dalam dunia bisnis kepariwisataan sangatlah penting untuk menarik minat mereka berkunjung ke destinasi wisata. Terlebih daya tarik wisata yang ada saat ini juga tidak sedikit yang rentan terhadap kerusakan akibat kurangnya perawatan dari pengelola.
Terlepas dari hal tersebut, tentunya perlindungan terhadap daya tarik wisata tidak boleh diabaikan dan perlu diatur secara jelas dan tegas. Selain itu kebijakan tentang tenaga kerja ahli warga negara asing di sektor pariwisata yang dihapus, perlu menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah. Hal ini sangat penting untuk menujukkan keberpihakan pemerintah terhadap tenaga kerja tempatan, dan di sisi yang lain tentunya untuk melindungi hak-hak tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
Sebagai penutup, semua pasal-pasal UU Kepariwisataan yang mengalami perubahan maupun yang dihapus dalam UU Cipta Kerja, tentunya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan di sektor pariwisata. Peraturan Menteri terkait yang selama ini dijadikan dasar hukum dan pedoman oleh pemerintah, maupun para pelaku usaha pariwasata sudah tidak lagi dapat digunakan. Kondisi ini tentunya sangat riskan dan memperpanjang polemik bila terus berlanjut. Untuk itu diharapkan pemerintah dapat segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih teknis, sekaligus sebagai pedoman bagi semua pihak dalam melaksanakan usaha pariwisata guna mewujudkan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan.
Penulis | : | Dr. Biryanto (ASN Pemerintah Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |