Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env
|
(CAKAPLAH) - Suatu hal yang menggembirakan bahwa di dalam bulan Ramadan, sontak dan tiba-tiba masjid serta musala ramai dikunjungi dan didatangi kaum muslimin. Berbeda dengan hari-hari biasa, dimana masjid hanya full ketika pelaksanaan Salat Jumat, majlis ta’lim dan perayaan hari besar Islam.
Kaum muslimin dari berbagai jenjang usia dan jenis kelamin, datang berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan salat taraweh berjemaah, dan salat fardhu lainnya, khususnya salat maghrib dan isya. Termasuk juga salat fardhu lainnya, lebih ramai dan meriah dikunjungi para jemaah, berbanding pada hari-hari biasanya. Dalam keadaan normal, masjid akan lebih ramai lagi ketika diadakan acara berbuka bersama. Dan kebanyakan masjid-masjid besar sekali seminggu, bahkan dua kali seminggu menyelenggarakan buka besar dengan memotong kambing. Dan kesemuanya biasanya dilakukan secara bergotong royong oleh jemaah masjid, lelaki maupun perempuan.
Dalam masa pandemi Covid-19 beberapa masjid masih menyelenggarakan kegiatan berbuka bersama dengan protokol kesehatan (Prokes) ketat, seperti; menjaga jarak (physical distancing), mencuci tangan, menghindari kerumunan dan memakai masker. Yang cukup menggelikan ketika akan berbuka puasa, panitia mengumumkan bahwa untuk berbuka agar masker dibuka. Sesuatu yang memang tidak bisa dhindarkan. Bisa dikatakan dalam keadaan darurat. Jika sholat dan puasa masih bisa menggunakan masker. Tapi jika makan dan minum menggunakan masker, akan cukup merepotkan.
Jika, kita merujuk sejarah peradaban Islam, bahwa memang sejak jaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya bahwa mesjid adalah pusat aktivitas umat. Makanya Nabi ketika berhijrah ke Mekah, yang pertama sekali dibangun adalah masjid. Di mesjid, Nabi dan para sahabat melakukan banyak aktivitas ibadah, termasuk juga aktivitas sosial lainnya.
Beberapa aktivitas utama di masjid adalah; salat berjamaah, i’tikaf, tilawah Alquran, zikir, tausiyah agama. Bahkan Nabi dan para sahabat juga berlatih perang di Masjid. Termasuk musyawarah penting lainnya berkaitan keagamaan dan kemaslahatan umat.
Diversity In Unity
Menariknya, pada prinsipnya mesjid bersifat terbuka untuk umum dan dapat dikunjungi selama 24 jam dari berbagai jenjang usia dan jenis kelamin, tanpa membedakan warna kulit, sukubangsa, status sosial, tahta dan jabatan untuk melakukan ritual ibadah, seperti yang tercermin di Majidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah (kecuali di jaman sekarang masjid di daerah perkotaan yang sudah banyak dikunci selepas sholat isya).
Semua menyatu di dalam masjid. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Dan tidak ada seseorangpun yang diberikan keistimewaan di dalam masjid secara syar’i. Siapa yang cepat datang, dapat untuk menempati tempat pada shaf paling depan, atau dimana saja yang dia sukai. Bayi dan anak-anak juga diperkenankan dibawa ke masjid, dengan catatan dijaga dan tidak mengganggu ibadah jemaah lainnya.
Makanya persatuan dan kesetaraan akan tampak dan terwujud di masjid/musala. Tidak ada istilah karpet merah, yang disediakan khusus untuk seseorang. Bahkan pemimpin sekalipun, jika datang terlambat tidak boleh ngotot untuk salat di shaf depan. Pengurus masjid jika terlambat datang, tidak diperkenankan nyelonong masuk ke shaf depan. Jika dia tetap ngotot, niscaya serta merta akan dipertanyakan kewarasanya dan akan segera dicabut SK pengurus oleh jemaah.
Keistimewaan hanya untuk Imam, dan orang yang dibelakang Imam. Karena yang akan memimpin kegiatan salat berjamaah. Dan kedudukan Imam begitu tinggi di Masjid. Dalam syariat Islam juga sudah diatur kriteria untuk menjadi imam salat.
Kriteria utama adalah kefasihan di dalam bacaan Alquran. Setelah itu, siapa yang paling banyak hafalannya. Kemudian, jika sama fasih dan sama hafalannya, dipilih yang lebih dahulu berhijrah ke dalam Islam. Jika juga sama, maka baru diperhatikan siapa yang lebih tua. Jadi, disini tampak bahwa Islam sudah dari dahulu mengutamakan kualitas, bukan senioritas. Bahkan dalam pemilihan panglima perang di dalam jihad, Nabi pernah menunjuk seorang panglima perang yang masih berusia 20-an tahun. Namun karena keilmuan dan kualitas personalnya, diangkat Nabi jadi panglima perang.
Saling Mengingatkan Dalam Kebaikan dan Taqwa
Dan disunnahkan masjid memiliki imam rawatib (imam tetap) untuk memimpin salat berjamaah. Jika jaman Nabi dan para sahabat, yang menajdi imam salat berjamaah adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Begitu juga ketika di jaman khalifaurrasyidin. Karena ketika itu, Nabi dan para khalifah adalah sekaligus kepala pemerintahan (umara’). Perlu diingat, bahwa tidak ada kewajiban seorang pemimpin pemerintahan (umara’) untuk mejadi imam di dalam sholat berjemaah. Namun jika umara’ sekaligus adalah orang yang berilmu (‘alim), itu adalah lebih utama baginya untuk menjadi imam di dalam salat berjamaah.
Menariknya lagi, seorang Imam juga tidak boleh ngotot dan tidak mau ditegur jika terjadi kekeliruan di dalam pelakasanaan salat. Seperti jika Imam salah atau keliru di dalam melantunkan bacaan alfatihah atau surat didalam salat fardhu yang dikeraskan bacaannya (maghrib, isya, subuh dan sholat Jumat), maka makmum yang dibelakang berkewajiban untuk membetulkan bacaaannya. Makanya disunnahkan, yang berdiri di belakang Imam, haruslah yang faham tentang Alquran dan syariat, untuk dapat segera mengoreksi imam jika ada kekeliruan di dalam bacaan dan termasuk gerakan-gerakan yang lain, seumpama bilangan rakaat, duduk diantara dua sujud, dan yang lainnya.
Dalam konteks ini dapat kita mengambil pelajaran pentingnya untuk saling mengingatkan dan tolong-menolong di dalam kebaikan dan takwa. Dimana, jika ada kekeliruan dan kesalahan untuk segera ditegur dan diperbaiki. Makna eksplisitnya juga adalah jika ada kekeliruan dan kesalahan jangan didiamkan/dibiarkan, supaya tidak terjerumus di dalam kesalahan dan kekeliruan berjemaah. Dan sebaliknya, yang ditegur harus mengikuti dan patuh jika memang salah dan keliru. Sehingga pada akhirnya kebersamaan dan persatuan di dalam kebaikan dan taqwa dapat direalisasikan.
Penulis | : | Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env (Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau) |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat |