H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Ramadhan pergi, Syawal menanti. Sedih senang bercampur aduk jadi satu. Hari kemenangan datang setelah berjuang melawan hawa nafsu melalui ibadah puasa sebulan lamanya. Status fitrah jelas paling dinanti. Bagaikan terlahir kembali, suci. Menguatkan hakikat penciptaan manusia hanya untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Namun fitrah itu status istimewa. Hanya mereka bersungguh-sungguh meraihnya. Buahnya tampak dari kendali atas diri yang selama Ramadhan dilatih secara berkala membentuk kekuatan ruhaniah. Melatih kemampuan mengendalikan hawa nafsu yang kerap merusak fitrah manusia dan sering menjerumuskan ke jurang kenistaan. Ramadhan mengajarkan kita menjadi manusia tampil wajar dan apa adanya, realistis, rasional dan proporsional. Contoh kecil sebelum berbuka kita ingin itu dan ini sebagai hidangan berbuka tapi tatkala azan magrib berkumandang, semua hasrat sebelumnya seakan sirna setelah minum seteguk air.
Sungguh rugi Ramadhan berlalu tanpa pelajaran. Ramadhan tak hanya menempa kesalehan pribadi tapi paling utama kesalehan sosial. Mereka puasanya berhasil akan terbentuk karakter khaira ummah atau umat terbaik: memberi warna positif bagi lingkungan. Ketika insan tersebut menjadi pemimpin akan memberi teladan, cerdas secara intelektual juga cerdas “mata hati”, bermartabat serta memiliki kepekaan sosial tinggi. Membatasi diri terhadap sesuatu yang halal bukan perkara mudah. Tidak sekedar menggembleng ego, Ramadhan juga memotivasi semangat bersedekah dan berbagi.
Secara perlahan mindset kita digiring dari cenderung konsumerisme ke altruisme. Berbagi adalah tindakan paling mulia dan memunculkan rasa bahagia. Islam mengajarkan gemar memberi dan hindari meminta-meminta. Memberi juga bukan soal kuantitas tapi komitmen dan konsistensi. Memberi juga berkaitan dengan akhlak. Sebagaimana hadist: “sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Ia mencintai kedermawanan serta akhlak mulia, Ia membenci akhlak buruk.” (HR. Al Baihaqi).
Warisan Berharga
Spirit berbagi asbab jayanya peradaban Islam di masa lalu. Dalam konteks Indonesia, sejarah mencatat sumbangsih raja-raja dan rakyat nusantara “bersedekah” nyawa, pikiran dan harta bagi perjuangan bangsa. Termasuk Sultan Syarif Kasim II mengirimkan bantuan bagi Indonesia yang baru saja merdeka sejumlah 13 juta gulden. Warisan karakter ini wajib dijaga dan dilestarikan. Patut disyukuri, meski dilanda berbagai cobaan berat semangat tersebut tetap eksis. Tergambar dari survei lembaga Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index yang dirilis belum lama ini. Hasilnya, Indonesia masuk 10 besar negara paling dermawan di dunia. Sebuah capaian membahagiakan. Dikutip dari Kompas.com, survei itu disusun berdasarkan data yang dianalisis berdasarkan tren perilaku dermawan selama masa krisis ekonomi -termasuk selama pandemi dan di tengah perjuangan dalam upaya pemulihan- sampai ketidakstabilan geopolitik di suatu negara. Tiga aspek perilaku dermawan yang dinilai: membantu orang asing, menyumbangkan uang ke lembaga amal dan mengikuti kegiatan amal secara sukarela.
Indonesia menduduki posisi ke 10 dengan nilai 42 persen untuk aspek membantu orang asing, 69 persen untuk aspek menyumbangkan uang ke lembaga amal, dan 40 persen untuk aspek mengikuti kegiatan amal secara sukarela. Meski peringkat terbawah, Indonesia unggul dalam beberapa poin. Untuk kategori “menyumbangkan uang ke lembaga amal” secara persentase kita lebih baik dibanding Kanada di posisi ke 6 (63 persen), Australia di posisi ke 4 (65 persen), Selandia Baru di posisi ke 3 (65 persen) bahkan unggul dibanding pemuncak yakni Amerika Serikat (61 persen). Sementara untuk kategori “kegiatan amal secara sukarela” kita juga lebih baik dibanding Belanda di posisi ke 8 (36 persen), Kanada (37 persen), Irlandia di posisi ke 5 (38 persen) dan Australia (37 persen).
Kenapa pantas bahagia? Karena survei tadi mengungkap betapa solidnya ikatan sosial antar warga Indonesia walau secara ekonomi peserta lain merupakan negara maju dan lebih baik tingkat kesejahteraan warganya. Kemajuan tak mutlak diukur dari pendapatan perkapita warga, tetapi seberapa kuat ikatan sosial antara warga. Perihal keunggulan Indonesia di dua poin adalah modal berharga membangun optimisme bangsa. Pertama, maraknya muncul inisiatif menggalang kepedulian warga atas isu-isu sosial yang ditandai banyak muncul lembaga amal. Lembaga-lembaga tersebut semakin profesional dan masif menggelar aksi sosial. Kedua, disamping inisiatif membentuk wadah guna menggalang kepedulian, ternyata masyarakat kita juga punya keinginan kuat melakukan kegiatan amal secara sukarela. Keunggulan dua poin dari survei tersebut sebuah perpaduan sempurna.
Perlu Fasilitas
Namun sangat disayangkan potensi kebaikan warga masih bersifat spontan dan kurang diperhatikan. Padahal kontribusi lini sosial sangat menentukan. Dalam demokrasi rakyatlah aktor utama bukan elit. Sudah seharusnya kekuatan sosial jadi salah satu tema pokok dalam cetak biru atau rencana Pemerintah. Sehingga dapat berperan sebagai problem solver. Seperti kegiatan nasional baru-baru ini yakni peluncuran Cinta Zakat oleh Presiden RI Joko Widodo, yang digelar secara virtual di gedung daerah Balai Serindit, Kamis (15/4/2021). Oleh Gubri Syamsuar gerakan tadi ditindaklanjuti di Provinsi Riau. Sebagaimana pidato Presiden, zakat dapat diselaraskan dengan program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan memacu kesejahteraan rakyat. Namun kegiatan Cinta Zakat belum cukup. Apalagi tak jelas kemana arah dan outputnya. Ditambah skeptisme masyarakat ketika zakat dan wakaf diurusi negara.
Skeptisme muncul bukan tanpa sebab. Barangkali diakibatkan kecenderungan selama ini Pemerintah menganggap masyarakat sebatas objek pembangunan. Jadi dekat ke rakyat ketika ada maunya atau kondisi kepepet. Padahal masyarakat subyek pembangunan itu sendiri. Dalam RPJMD Provinsi Riau 2019-2024 nyaris tak tak ada pemaparan khusus soal partisipasi lini sosial dan perannya terhadap isu strategis daerah. Jangan heran perencanaan hingga pelaksanaan program dan kebijakan Pemerintah minim dukungan. Cek saja di lapangan, tak sedikit sarana dan prasarana sudah dibangun bagus-bagus tapi terlantar. Kalaupun ada nomenklatur mengarah ke pemberdayaan sosial itu sekedar basa-basi. Kembali ke fenomena antusias masyarakat berbagi, ini adalah berkah dan butuh fasilitasi agar dapat berkontribusi lebih jauh. Untuk menuju ke sana, pengambil kebijakan harus merubah paradigma. Pembangunan bukan melulu soal memikirkan konstruksi fisik namun juga manusianya. Keduanya harus sinkron.
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali Azumar |
Kategori | : | Cakap Rakyat |