(CAKAPLAH) - Sebagai negara anggota ASEAN, Indonesia dan beberapa negara lainnya dalam forum kerjasama ASEAN, sangat prihatin melihat situasi dan keadaan di Myanmar setelah militer melakukan kudeta pada 1 Februari 2021 terhadap pemerintahan sipil yang sah di bawah pemerintahan Daw Aung Saan Suu Kyi. Militer kembali mengambil alih kekuasaan dengan dalih, pemerintahan sipil menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan korupsi terhadap pengadaan alat persenjataan yang disinyalir oleh militer melibatkan Daw Suu Kyi yang merupakan tokoh oposisi yang memenangkan pemilihan umum.
Akibat kudeta militer tersebut 2 tokoh yaitu Suu Kyi dan presiden Presiden Win Myint menjadi tahanan rumah. Banyak kecaman datang dari berbagai organisasi internasional terutama utusan khusus PBB, yang mengecap dan mendorong agar militer Myanmar mengembalikan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. ASEAN sendiri sebagai organisasi di kawasan Asia Tenggara sudah berupaya untuk melakukan komunikasi dan pendekatan secara konstruktif agar militer berundur dan menyerahkan kepada pemerintahan sipil.
Dalam forum ASEAN yang diketua Brunai Darussalam telah berupaya dan melakukan diplomasi dengan militer Myanmar. Ada pernyataan dari Sultan Hasanal Borkiah yang mengatakan ASEAN tidak akan mengeluarkan Myanmar dalam keanggotaan ASEAN. Namun di sebalik itu, Brunai Darussalam dan negara-negara ASEAN lainnya sangat prihatin dengan situasi demokrasi di negara tersebut dan telah banyak menimbulkan korban di pihak sipil semenjak militer melakukan kudeta. Militer Myanmar tidak hanya berhadapan dengan para demontran, juga berhadapan dengan kekuatan para pemberontak dari negara-negara bagian di Myanmar seperti kelompok minoritas Karen, Mon dan Shan yang sejak tahun 2010 melakukan perlawanan terhadap militer Myanmar diperbatasan Thailand-Myanmar. Terbaru pasca kudeta militer, etnis minoritas yang menentang militer telah melakukan perlawanan terhadap kekuatan militer.
ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara tidak akan mengintervensi politik dalam negeri Myanmar. Hal tersebut sudah menjadi tujuan dari organisasi ini yang telah berdiri semenjak tahun 1967, tepatnya ASEAN yang didirikan pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand oleh 5 negara yaitu Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia dan Singapura. Yang mana pada waktu itu, tujuannya adalah bagaimana kerjasama di antara negara-negara anggota ASEAN dapat berkontribusi terhadap perdamaian dan keadilan di kawasan Asia Tenggara. Dapat dikatakan bahwa, Myanmar menjadi ‘duri” bagi negara-negara ASEAN terutama dalam hal penegakan HAM dan demokrasi. Semenjak kemerdekaan, Myanmar selalu dihantui oleh kudeta militer. Myanmar bergabung dalam ASEAN pada 23 Juli 1997.
Tradisi kudeta di Myanmar di awali oleh Jenderal Ne Win, yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan Jenderal Aung San yang merupakan ayah dari tokoh oposisi Daw Aung Saan Suu Kyi. Oleh sebab itu, Myanmar dikenal sebagai negara yang tidak bisa dipisahkan dari kudeta militer. Telah 9 bulan dihitung sejak 1 Februari 2021, militer Myanmar mengambil alih kekuasaan sipil, yang awal mulanya sudah berjalan pemerintahan sipil selama 10 tahun. Hasil pemilu tahun 2020, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan oleh Daw Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu namun, militer membatalkan hasilnya yang menganggap terjadi kecurangan.
Dilema ASEAN
ASEAN menghadapi dilema khususnya dalam masalah Myanmar, yang tidak saja menjadi sorotan ASEAN, juga sudah menjadi sorotan Internasional yaitu Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang berhubungan dengan kondisi HAM dan penindasan terhadap demontran serta konflik dengan kelompok-kelompok yang ingiu memisahkan dari Myanmar. Pemberontakan etnis Karen secara terus menerus melakukan perlawanan terhadap militer Myanmar. Myanmar (dulunya bernama Burma) juga dihadapkan dengan masalah pemberontakan-pemberontakan dari kelompok minoritas. Tidak saja etnis Karen, etnis Mon dan Shan secara terus menerus terus melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat di Naypidaw (dulunya Yangon).
Militer Myanmar pada 7 November 2005 telah memindahkan pusat pemerintahan ke Naypyidaw. Kelompok Karen hingga saat ini masih berperang secara bergerilya dengan militer Myanmar demikian pula kelompok minoritas Shan dan juga Rohingya di perbatasan dengan Negara Bangladesh.
Oleh sebab itu, Komunitas ASEAN akan terus mendorong agar Myanmar terus melakukan rekonsiliasi tidak saja terhadap pemerintahan sipil juga terhadap etnis-etnis yang memberontak terhadap pemerintahan pusat agar visi ASEAN ke depannya terwujud yaitu “One Vision, One Identity, One Community”.***
Penulis Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA: adalah Alumni Ekonomi-Politik Internasional IKMAS, Malaysia. Menulis Tesis tentang Hubungan Sipil-Militer dan Demokratisasi Politik di Myanmar.
Penulis | : | Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA, |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Internasional, Cakap Rakyat |