Muji Basuki
|
"Orangtua Indonesia di masa depan makin sulit membiayai kuliah anaknya. Kenaikan biaya pendidikan perguruan tinggi tidak mampu diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Tidak semua keluarga dapat menuntaskan kuliah anaknya hingga lulus meski sudah menyiapkan dana pendidikan sejak dini."
Begitulah kalimat yang tertera pada bagian awal laporan investigatif yang dimuat oleh salah satu harian nasional terkemuka pada akhir bulan Juli 2022 yang lalu. Laporan investigasi ini menganalisis dan mengombinasikan data upah lulusan SMA dan universitas dari BPS selama 1995 hingga 2022 serta data biaya studi dari 30 perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS). Biaya pendidikan yang dihitung oleh BPS meliputi uang pendaftaran, uang saku, uang transport, dan biaya operasional seperti SPP/UKT, seragam sekolah dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh peserta didik.
Apakah Benar Pendidikan Makin Mahal?
Faktanya memang, semakin tinggi tingkat pendidikan seorang peserta didik, maka akan semakin besar biaya pendidikan yang harus dikeluarkannya. Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam buku publikasi Statistik Pendidikan Indonesia, rata-rata total biaya pendidikan secara nasional pada tahun 2021 mencapai Rp3,24 juta untuk jenis pendidikan SD/Sederajat, kemudian naik menjadi Rp5,59 juta untuk jenis pendidikan SMP/Sederajat, selanjutnya meningkat menjadi Rp7,80 juta untuk jenis pendidikan SMA/Sederajat, serta akhirnya seseorang harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 14,47 juta untuk menempuh jenis pendidikan tinggi.
Untuk Provinsi Riau, rata-rata biaya pendidikan yang harus dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Pada tahun 2021, seorang peserta didik di tingkat SD/Sederajat harus mengeluarkan rata-rata biaya sebesar Rp. 3,44 juta, kemudian naik menjadi Rp. 6,29 juta untuk jenis pendidikan SMP/Sederajat, selanjutnya meningkat menjadi Rp. 8,90 juta untuk jenis pendidikan SMA/Sederajat, serta akhirnya seseorang harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 15,32 juta untuk menempuh jenis pendidikan tinggi di Provinsi Riau.
Dilihat dari sisi struktur konsumsi, rumah tangga di Provinsi Riau harus mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan dengan porsi 6,15 persen dari total konsumsinya pada tahun 2021. Porsi anggaran pendidikan dan kesehatan ini meningkat dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 6,06 persen dan tahun 2019 yang sebesar 5,45 persen.
Lebih jauh, jika diukur dari sisi Indeks Harga Konsumen (IHK) provinsi Riau, sub kelompok pendidikan tinggi mengalami peningkatan harga pada periode 2021-2022 sebesar 1,95 persen, jauh melampaui kenaikan harga untuk sub kelompok pendidikan menengah yang sebesar 0,38 persen. Akan tetapi, baik untuk sub kelompok pendidikan tinggi maupun menengah, peningkatan pada periode 2021-2022 lebih tinggi dibandingkan periode 2020-2021, dimana pada periode 2020-2021 kenaikan harga pada sub kelompok menengah dan sub kelompok pendidikan pendidikan tinggi masing-masing "hanya" sebesar 0,23 dan 1,89. Artinya, pendidikan terutama untuk jenis pendidikan menengah dan pendidikan tinggi "harganya" semakin meningkat selama kurun waktu 2 tahun terakhir ini.
Pendidikan, Faktor Utama Keberhasilan Periode "Bonus Demografi"
Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, kemajuan sebuah generasi manusia selalu dimulai dari besarnya perhatian generasi itu terhadap pendidikan. Jazirah Arab yang primitif dan terbelakang tampil menjadi bangsa yang maju dan berperadaban di dunia timur setelah menerima risalah langit yang di awal turunnya memerintah aktivitas "membaca". Eropa sempat melalui fase the dark middle age atau abad pertengahan yang gelap akibat mereka mengabaikan pendidikan dan lebih mempercayai klenik, sampai akhirnya fikiran mereka menjadi terbuka dan maju dengan adanya gerakan renaissance sebagai kelanjutan dari proses pembelajaran generasi muda mereka ke dunia timur.
Begitulah sebuah generasi maju dan berkembang, selalu diawali dari atensi besar generasi tersebut terhadap bidang pendidikan. Dalam tinjauan sosial demografis, sebuah bangsa memiliki peluang besar untuk menjadi negara yang maju pada waktu bangsa tersebut mendapatkan anugerah berupa bonus demografi. Bonus demografi sendiri didefinisikan sebagai sebuah keadaan dimana penduduk produktif sebuah bangsa lebih banyak dibandingkan penduduk non produktif. Dalam buku publikasi Analisis Profil Penduduk Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan :"Sejak tahun 2012 hingga tahun 2035 Indonesia diperkirakan memasuki masa bonus demografi dengan periode puncak antara tahun 2020-2030".
Menurut data BPS, rasio ketergantungan Indonesia pada tahun 2000 sebesar 53,76% dan menurun pada tahun 2005 menjadi sebesar 50,8. Pada tahun 2010 mengalami sedikit peningkatan menjadi 51,33 dan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan angka beban ketergantungan sebesar 49,2 yang berarti setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung beban sebanyak 49,2 penduduk usia nonproduktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun ke atas). Keadaan ini bisa diartikan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami era bonus demografi. Bahkan mengacu hasil Sensus Penduduk 2020, rasio ketergantungan di Indonesia sebesar 41%, dan ini merupakan angka rasio ketergantungan terendah selama ini.
Periode bonus demografi yang sedang dilalui tentu betul-betul akan bermanfaat besar bagi bangsa Indonesia apabila bangsa ini betul-betul mampu mengoptimalkan variabel pendidikan sebagai variabel utama dalam pembangunan. Sejauh ini, dilihat dari sisi formal anggaran, keberpihakan pemerintah terhadap sektor pendidikan terlihat cukup besar, ditandai dari alokasi anggaran sektor pendidikan sebesar minimal 20 persen setiap tahun sesuai amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Akan tetapi melihat indikator-indikator pendidikan beberapa tahun terakhir sebagaimana yang sebagiannya dipaparkan pada awal tulisan ini, tidak sedikit pihak yang bertanya, bagaimana mungkin pendidikan akan menjadi faktor penentu keberhasilan pemanfaatan bonus demografi bagi bangsa ini, sementara biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh unit-unit keluarga di bangsa ini dari waktu ke waktu semakin tinggi. Bahkan sebagian pihak bertanya dengan kalimat utopis: "Akankah dengan biaya pendidikan yang semakin tinggi, bonus demografi justru kelak akan berubah menjadi beban demografi?"
Rute Krisis, Kemana Ujungnya?
Memang kondisi global saat ini sedang tidak sepenuhnya baik-baik saja. Krisis kesehatan yang belum jelas kapan akan berakhir, kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi yang ditandai dengan resesi ekonomi global terutama pada kurun waktu 2020-2021 yang lalu, selanjutnya berkembang krisis global ini menjadi krisis politik yang ditandai dengan jatuhnya rezim pemerintahan di beberapa negara, bahkan sekarang krisis global ini berkembang menjadi krisis keamanan baik di Eropa maupun di kawasan-kawasan lain. Rangkaian krisis ini dikhawatirkan akan semakin memburuk dengan adanya ancaman perubahan iklim dan lingkungan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan perubahan iklim dapat memiliki dampak yang lebih luas dan signifikan bagi negara-negara di dunia dibandingkan dengan pandemi Covid-19. Hal itu ia sampaikan saat menghadiri HSBC Summit 2022 dengan tema “Powering the Transition to Net Zero , Rabu (14/09/22).
“Kita semua menyadari bahwa perubahan iklim atau krisis iklim menjadi ancaman besar bagi kemanusiaan, ekonomi, sistem keuangan, dan cara hidup kita. Laju emisi gas rumah kaca juga terus meningkat secara eksponensial,” jelas Menteri Keuangan.
Pemuda, Tetaplah Optimis
Di tengah berbagai kondisi existing maupun masa depan yang suram dan belum jelas, ummat manusia, khususnya para pemuda, harus tetap menyalakan optimismenya. Jika rute krisis yang dilalui manusia saat ini seperti lorong panjang yang gelap, maka optimisme adalah lilin yang tetap menyala untuk menunjuki jalan bagi manusia melewati lorong ini. Bahkan dengan optimisme itulah akan lahir ide dan gagasan segar untuk lahirnya terobosan-terobosan kreatif dan inovatif agar lorong krisis ini segera berakhir. Krisis adalah ancaman bagi kaum pesimistis, akan tetapi krisis adalah peluang bagi kaum optimistis.
Dalam tinjauan teologis, kita bisa belajar dari kisah Nabi Yusuf yang tampil dengan ide-ide segar di tengah kerajaan Mesir yang sedang krisis saat itu. Secara singkat, seperti bisa ditemukan dalam kitab-kitab samawi, Raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina gemuk dimakan tujuh sapi betina kurus dan tujuh bulir gandum hijau dan tujuh bulir gandum kering. Ketika terbangun dari tidur, sang raja diselimuti rasa penasaran. Dia memanggil para penafsir mimpi untuk menguak makna mimpi tersebut. Lalu apa kata mereka? Semua itu adalah mimpi yang tak berarti, kata para ahli penafsir mimpi.
Nabi Yusuf hadir membawa proposal segar di tengah "kebingungan" kaumnya, Nabi Yusuf yang masih terkurung dalam penjara menjelaskan bahwa mimpi itu adalah peringatan dari Sang Pencipta agar masyarakat bercocok tanam tujuh tahun. Setelah dipanen, simpanlah hasilnya dengan baik. Makan sedikit-sedikit saja dari hasil tersebut dan jangan berlebihan.
Setelah itu akan datang tujuh tahun musim paceklik yang penuh penderitaan. Persediaan pangan akan banyak terkuras untuk kebutuhan pangan pada masa tersebut. Setelah itu hujan akan datang dengan cukup. Ketika itu mereka kembali bercocok tanam, memeras anggur, dan menikmati hasil panen dengan suka ria. Singkat cerita, forecasting Nabi Yusuf tentang mimpi raja betul-betul terjadi. Dan akhirnya Nabi Yusuf diberikan apresiasi oleh kerajaan untuk menjadi pemimpin Mesir saat itu.
Bangsa Indonesia juga berkali-kali melewati episode sejarah dimana pemuda menjadi agen utama perubahan yang terjadi. Salah satu yang fenomenal adalah ketika bangsa ini sedang mengalami kebuntuan ide melawan hegemoni penjajahan. Primordialisme perlawanan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara dengan mudah dipatahkan oleh penjajah dengan politik belah bambunya. Sampai akhirnya para pemuda lintas suku, etnis dan agama menggagas narasi persatuan melalui peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Setelah peristiwa itu, konsep perlawanan yang dilakukan oleh bangsa ini lebih terstruktur dan terorganisir, sampai akhirnya atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, bangsa ini bisa memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945.
Selamat memperingati Sumpah Pemuda.
Pemuda Indonesia, tetaplah optimis.
Penulis | : | Muji Basuki (Statistisi di BPS Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |