Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Beberapa hari lalu (10/11/2023) Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menetapkan aturan upah buruh baru yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Ketentuan akan menjadi dasar penetapan upah minimum 2024 dan seterusnya. Berdasarkan keterangan resmi Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, formula baru Pemerintah memastikan kenaikan upah minimal pekerja sebagai bentuk penghargaan atas para tenaga pekerja (Naker) dan buruh yang telah berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi.
Perubahan aturan juga bertujuan mencegah kesenjangan upah antar wilayah dan mendorong peningkatan daya beli masyarakat. Harapannya berdampak pada terserapnya barang dan jasa. Dengan demikian, usaha berkembang dan membuka lapangan kerja baru. Hal perlu disorot di aturan terbaru tentunya formula upah yang kini mencakup tiga variabel yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu. Teruntuk disebut terakhir ditentukan oleh Dewan Pengupahan Daerah. Pemerintah menyebut perubahan aturan akan memperkuat peran Dewan Pengupahan Daerah. Terutama memberi saran dan pertimbangan ke Kepala Daerah perihal struktur dan skala upah di wilayah masing-masing.
Kendati Pemerintah menjanjikan perubahan lewat aturan baru, namun di lapangan justru direspon skeptis. Serikat pekerja menganggap ketentuan baru belum memenuhi tuntutan kaum pekerja dan buruh yang menginginkan kenaikan upah dihitung lebih mudah dan simpel serta didasarkan survei riil kebutuhan hidup. Dengan menggunakan formula PP 51/2023, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun depan tak lebih 5-7 persen. Muatannya nyaris mirip PP sebelumnya yang memakai rumus inflasi + (pertumbuhan ekonomi x indeks tertentu). Mengikuti UU Cipta Kerja. Sehingga bisa dipastikan kenaikan upah akan selalu di bawah pertumbuhan ekonomi.
Walau belum ada angka pasti, sikap Pemerintah terkait pengupahan memang perlu dipertanyakan. Informasinya manakala memutuskan kenaikan gaji ASN sebesar 8 persen dan pensiunan 12 persen tahun 2024, kalkulasi mengacu ke pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Akan tetapi giliran upah buruh kok perhitungan sama tidak dipakai? Pendekatan berbeda jelas akan memicu kecemburuan. Kami senang gaji ASN dan Pensiunan dinaikkan. Tapi perlu pula dipikirkan nasib pekerja swasta yang secara jumlah lebih banyak dan sumbangsihnya vital bagi roda perekonomian. Terkhusus Riau, melejitnya komoditas sawit tak bisa dilepaskan dari peran buruh dan pekerja yang begitu krusial.
Gagal?
Boleh dibilang Negara gagal menjalankan peran sebagai regulator. Sementara kondisi pekerja di Indonesia masih jauh dari ideal. Menyoal labour revenue atau pendapatan buruh berikut capital revenue dalam satu perusahaan di Indonesia masih sekitar 39 persen atau paling rendah di Asean Five. Di belahan dunia lebih maju dan beradab kayak Eropa bisa mencapai 60 persen di satu perusahaan. Ketika kaum buruh tak punya pendapatan cukup akan timbul kerugian. Daya beli rendah bikin UMKM, sektor usaha dan produksi massal terpukul. Turunnya daya beli pertanda buruk. Asbab 56-57 persen pertumbuhan ekonomi disumbangkan belanja warga. Situasi inilah yang sedang terjadi.
Oleh karena itu, Pemerintah mulai pusat hingga daerah perlu melihat tuntutan buruh dan Naker secara komprehensif. Bukan menganggap mereka beban. Apalagi sampai memojokkan dan mengampanyehitamkan aksi protes mereka. Miris mendengar pernyataan seorang Calon Presiden (Capres) yang meminta buruh agar tak banyak menuntut kenaikan upah kepada pengusaha, sebab bisa memberatkan dan membuat pengusaha lari ke negara lain. Seolah-olah pendapatan buruh faktor penghambat investasi. Padahal menurut ekonom, keluhan investor soal perburuhan di urutan ke-11. Aspek teratas penghambat investasi ialah ketidakpastian kebijakan, perpajakan dan lain-lain. UU Omnibus Law yang digadang-gadangkan akan membangkitkan ekonomi nyatanya tak terbukti. Pangkal masalahnya aturan dibuat secara ugal-ugalan.
Pernyataan-pernyataan yang menyudutkan para pekerja yang meminta hak dan perlakuan lebih baik wujud ketidakadilan. Kami yakin kaum buruh tak setega itu kalau perusahaan tempat mereka bekerja merugi. Mereka pasti bisa memahami dan tak akan minta kenaikan upah di luar kewajaran. Pekerja dan buruh tak sekejam orang-orang yang suka utak-atik aturan demi menguntungkan kepentingan kelompok dan menyuburkan praktik oligarki. Tuntutan kenaikan upah dipicu harga bahan pokok yang terus meroket, BBM, biaya pendidikan anak dan lain-lain.
Di sisi lain mayoritas pengusaha tak mau terbuka kondisi keuangan perusahaan. Alasan rahasia dapur. Kondisi itu membuat pekerja tidak tahu kondisi sebenarnya. Saat pengusaha untung tak mau sharing, pas merugi baru mengeluh. Sikap bermuka dua dan inkonsistensi Pemerintah berikutnya soal ekonomi. Di satu sisi ketika Pemerintah dihadapkan pada kritikan, acapkali membela diri seraya membanggakan kondisi perekonomian yang membaik. Diantaranya saat Munas Real Estate Indonesia (REI) 2023 di Jakarta (9/8/2023) Presiden Jokowi membandingkan Indonesia dengan negara anggota G20. “Negara-negara G20 yang tumbuh di atas 5 persen itu hanya Indonesia, India, RRT (China),” ujar Jokowi.
Masih di kesempatan yang sama, Jokowi juga menyinggung daya saing Indonesia naik 10 peringkat menjadi peringkat 34 dari peringkat 44. Kenaikan 10 peringkat disebut capaian tertinggi di dunia.
Sebelas dua belas, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sewaktu dicecar pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat di kuartal III/2023 juga berapologetik berkata bahwa meski melambat, ekonomi Indonesia lebih baik dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura bahkan AS dan China. “Pertumbuhan ekonomi kita lebih tinggi dibandingkan China, Malaysia, AS, bahkan Singapura,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Kemenko Perekonomian (6/11/2023).
Begitu juga perkara inflasi, dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2023 di Istana Negara (31/8/2023), Presiden Jokowi mengatakan inflasi di tanah air terkendali. Level inflasi diklaim lebih rendah daripada negara-negara lain di dunia semisal Argentina. Anehnya tatkala menyikapi permintaan buruh soal upah seketika Pemerintah berubah 360 derajat. Jika sebelumnya bersemangat mengangkat prestasi dan capaian sensasional ekonomi dalam negeri, entah kenapa rasa percaya diri Pemerintah akan perekonomian yang sebelumnya begitu bergelora tetiba anjlok. Narasi yang santer terdengar kemudian justru inflasi, perekonomian nasional belum sepenuhnya bangkit, kekhawatiran terganggunya usaha, iklim investasi dan seterusnya. Bak kata kekinian sungguh tak habis thinking.
Penulis | : | Dr. (H.C) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |